Monday, January 18, 2021

SBDJ Siri 177: Jumpa Di Kubur Lama

SBDJ Siri 177: Jumpa Di Kubur Lama

Si gadis jelita termenung sejenak tetapi, sepasang matanya yang lembut terus menatap wajah Andi Kamarool dan sekilas senyum berlari di kelopak bibir, tentunya untuk Andi Kamarool yang muka di dakap keresahan.

Toyol jadi-jadian

"Begini saja, awak ikut saya berjalan-jalan di sini."

"Untuk apa?" Andi Kamarool gugup.

"Melihat keindahan dan kecantikan kawasan ni. Lagipun awak orang baru di sini. Saya kira, jalan bersama tak salah. Macam mana, awak setuju?"

Andi Kamarool jadi serba salah. Sekejap garu kepala, sekejap garu leher, sekejap lagakan gigi atas dengan bawah sekali. Dia masih ragu untuk membuat keputusan.

"Bagaimana? Kamu ragu-ragu dengan aku?" desak si gadis.

"Ayuh, saya temankan awak," jawab Andi Kamarool penuh semangat.

"Bagus, kita menuju ke sungai," si gadis jelita memulakan langkah. Mereka berjalan beriringan.

Seperti apa yang saya lalui, Andi Kamarool juga turut mengalaminya. Dia melihat air sungai yang melimpah ruah tetapi mengalir tenang mengarah dengan dedaun kering dan kumpulan bunga teratai dari hulu.

"Mari kita mandi," si gadis jelita sambil menanggalkan pakaian. Cuma yang tinggal coli dan seluar dalam. Si gadis jelita terjun ke dalam sungai.

"Mari kita mandi," ajaknya lagi sambil melentangkan badan di permukaan air sungai yang tenang.

"Kenapa menung, jangan tunggu lama-lama. Terjun dan berenang sekarang," desak si gadis jelita.

Dan kali ini, Andi Kamarool bersedia memenuhi permintaan itu. Dia segera terfikir, mungkin apa yang sedang dilaluinya ini adalah tipu helah pengawal rumah batu lama untuk memerangkapnya. Andi Kamarool tergesa-gesa berpatah balik.

"Kenapa kamu berpatah balik? Kamu takut dengan air," jerit si gadis dengan rasa kesal yang amat sangat.

Andi Kamarool mempersetankan suara si gadis itu. Dia cuma senyum dan berpatah balik ke tebing sungai.

Berdiri kaku di situ, melihat si gadis jelita berenang dan menyelam sesuka hati. Tubuh si gadis yang segar jadi sasaran biji mata Andi Kamarool.

Payu dara yang keras dan tajam menolak coli yang nipis. Rambut yang panjang bagaikan tebaran jala bila si gadis yang memusingkan kepala dengan cepat.

Si gadis terus berenang dan menyelam bagaikan puteri duyung. Semua gerak-geri yang dipamerkan seolah-olah berusaha membangkitkan nafsu berahi Andi kamarool. Ternyata Andi Kamarool tidak mudah untuk digoda.

Andi Kamarool terus menanti di pinggir tebing.

"Kenapa kamu tak pergi?" soal si gadis sebaik saja dia menghampiri tebing.

Tangan kirinya memegang akar yang terjuntai ke dalam sungai, tubuhnya terus digerak-gerakkan dalam air sungai yang jernih.

Andi Kamarool dapat menikmati seluruh kulit tubuhnya yang putih melepak. Di bahagian tengah belakangnya bertenggek seketul tahi lalat hidup.

"Kamu menanti sesuatu dari aku," tambah si gadis, dia terus berenang ke tengah sungai dengan cara terlentang.

"Lihat sini," jeritnya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Andi Kamarool. Dengan sekelip mata dia terus menyelam ke dasar sungai.

"Ke mana dia?" hati kecil Andi Kamarool berkata sendirian.

Cukup lama si gadis itu menyelam, hampir kecewa Andi Kamarool dibuatnya.

Tiba-tiba si gadis muncul di permukaan sungai. Berenang dengan tenang ketepian. Dia melompat ke atas tebing.

Dengan sekelip mata coli dan seluar dalamnya terus kering dengan serta merta.

"Anehnya," bisik batin Andi Kamarool.

Si gadis terus senyum, seolah-olah tahu apa yang bergolak dalam dada anak muda di bibir tebing dan mata beningnya terus menatap sekujur tubuh Andi Kamarool.

Si gadis terjun ke dalam sungai kembali. Menyelam untuk beberapa saat dan muncul kembali dengan sebilah keris lama agak pendek, tetapi mempunyai lima luk tanpa hulu dan sarung.

Semasa ditayangkan kepada Andi Kamarool, mata keris lama mengeluarkan cahaya kekuning-kuningan hanya untuk beberapa saat sahaja.

TEBING

Si gadis melompat atas tebing, sepasang kakinya dari paras lutut hingga ke hujung kaki berada dalam air sungai. Andi Kamarool melihat air sungai.

Andi Kamarool melihat air dari hujung rambut jatuh meleleh perlahan di permukaan kulit dada dan belakang sebelum jatuh ke bumi.

"Cantik dan antik," si gadis menggerak-gerakkan keris lama berluk lima, dari kanan ke kiri di depan mata Andi Kamarool.

"Berikan pada saya."

"Buat apa?"

"Untuk kenang-kenangan," jawab Andi Kamarool.

"Mudahnya nak minta harta orang. Permintaan dan ajakan orang tak dilayan."

"Apa permintaannya?"

"Buat lupa pula, bukankah tadi aku ajak kamu mandi bersama."

"Oh..!" Mulut Andi Kamarool separuh terlopong.

"Sudahlah."

Secepat kilat si gadis jelita mengangkat kaki dari sungai. Dia terus berdiri. Tubuhnya yang jadi sembilan puluh peratus bogel segera ditutupinya dengan tuala besar.

Entah dari mana tuala itu menjelma? Semuanya membuat kepala Andi kamarool pening.

"Kita pulangkan keris ini ke tempatnya. Kalau kamu berhajat, silalah cari sendiri dalam sungai. Selamat tingggal orang muda."

"Jangan dibuang, nanti dulu."

Si gadis buat tidak kisah dengan permintaan Andi Kamarool. Keris lama berluk lima segera dicampakkannya ke dalam sungai. Dia terus berlalu dan Andi Kamarool tersedar.

Kerana sudah ternyata apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil, kami memutuskan untuk pulang saja ke rumah papan.

Tetapi, kami mengalami kejutan yang lain pula. Kami tidak dapat tidur, badan terasa panas, gatal dan berpeluh seperti berada dekat dengan unggun api.

Apa yang peliknya, menjelang subuh rasa panas, gatal dan peluh di badan hilang serta merta. Dan kami dapat menunaikan sembahyang subuh dengan sempurna.

Sepuluh minit setelah menunaikan sembahyang subuh. Kami diserang rasa mengantuk yang amat sangat.

Bagaimana tidak terdaya membuka kelopak mata dan akhirnya kami terlena di hadapan sejadah dan terjaga bila terdengar ketukan yang bertalu-talu di pintu.

Saya suruh Andi Kamarool bangun dan membuka pintu. Sebaik saja daun pintu terbuka, sinar matahari yang terang benderang terus masuk ke dalam rumah papan.

Di muka pintu, tercegat Kak Sun menatang setalam makanan untuk sarapan pagi. Dia senyum penuh rasa ramah.

"Pukul berapa sekarang Kak Sun?" sambil menggosok-gosok mata Andi Kamarool bersuara.

"Dah pukul sembilan."

"Dah tinggi hari baru terjaga," keluh Andi Kamarool.

"Apa macam? Berjaya malam tadi?"

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Andi Kamarool. Dia menyambut talam yang dihulurkan oleh Kak Sun. Saya yang sudah berdiri di sisinya menggigit jari.

"Tamar, letakkan di sana."

Setalam makanan untuk sarapan pagi segera bertukar tangan. Dari Andi Kamarool ke tangan saya. Talam segera saya letakkan atas lantai tanpa membuka tudung saji yang menutupnya.

"Usaha kami malam tadi gagal kak!" kata saya memberi jawapan, bukannya Andi Kamarool.

Saya lihat Andi Kamarool anggukkan kepala. Tidak merasa tersinggung dengan tindakan saya itu.

"Agaknya kamu berdua tidur di sini, bukannya di anjung rumah batu. Sedapnya tidur hingga terpaksa dikejutkan," dalam senyum Kak Sun cuba menyindir kami.

"Ramalan kak tak tepat, kami balik ke rumah ni pukul tiga pagi. Lepas sembahyang subuh baru kami terlelap," terang saya bersungguhsungguh. Andi Kamarool terus tersengih.

"Apa yang kau orang berdua rasa?"

"Macam-macam, nanti lain kali kami ceritakan pada kak," Andi Kamarool mencelah. Jawapan itu ternyata tidak menyenangkan hati Kak Sun.

"Ceritalah sekarang, apa salahnya."

"Saya berjanji esok atau lusa saya cerita pada Kak," saya melahirkan sebuah janji. Kak Sun menarik nafas panjang.

"Kak bukan apa-apa. Mia yang suruh tanya."

"Jawapannya tetap sama kak," tingkah Andi Kamarool.

"Mia cuma nak tahu, bila kamu berdua gagal, apakah kamu nak teruskan juga?"

"Malam ni, kami cuba lagi hingga hati kami puas. Sampaikan salam kami untuk Mia kerana mengambil berat tentang diri kami. Beritahu dia, sebelum berjaya kami tetap mencuba," tambah saya lagi.

"Baiklah."

Dan Kak Sun pun segera meninggalkan kami.

PERSIAPAN

Kerana tidak mahu mengalami kegagalan, kami segera membuat persiapan rapi. Petua dan ilmu yang ada dalam diri Andi Kamarool segera di satukan dengan petua dan ilmu yang saya miliki.

Pelbagai jenis bunga dicari dan pelbagai jenis ramuan pula diburu. Demi mencari bahan-bahan tersebut, bukit kecil di belakang rumah papan jadi sasaran.

Di saat saya menyusun dan memilih barang-barang yang perlu dan didakwa boleh memanggil makhluk halus, Andi Kamarool menghilangkan diri entah ke mana.

Kira-kira satu jam kemudian baru muncul kembali dengan wajah yang berseri-seri.

"99 jenis bunga kau dah bungkus Tamar?"

"Sudah."

"Serai wangi, kemenyan putih, pucuk pisang hutan di mana kamu letakkan?"

"Dekat bendul."

"Tulang lembu yang kita pesan dengan tukang kebun dah hantar?" soal Andi kamarool, sambil matanya merenung kiri dan kanan.

"Ada, aku letak di kaki tangga. Kamu ke mana tiba-tiba hilang."

"Maafkan aku Tamar, tiba-tiba tergerak hatiku nak jumpa Mia. Aku terus cari dia."

"Jumpa di mana?"

"Aku jumpa di kubur lama di bawah pokok buluh kuning. Dia terkejut bila aku datang."

"Apa yang kamu berdua buat di situ," tanya saya sambil membayangkan yang Andi Kamarool menjelma menjadi harimau jantan dan Mia harimau betina.

"Dia ajak aku pergi ke sebatang anak sungai," kata-kata yang diluahkan oleh Andi Kamarool membuat saya cemas. Mukanya saya renung.

"Jauh dari sini, Andi?" tanya saya lagi

"Aku tak dapat pasti berapa jauh. Anak sungai tu di kaki gunung, kami bercakap saja Tamar."

"Macam sungai.." saya tidak meneruskan kata-kata.

Andi Kamarool yang dapat menangkap maksud kata-kata saya itu, terus tersenyum.

"Bukan macam sungai yang aku dan kamu tengok tu," nada suara Andi Kamarool cukup lemah.

"Kalau serupa, kita terus saja ke situ Andi."

"Serupa atau tidak, malam ni kita teruskan usaha kita Tamar."

"Sudah tentu," balas saya penuh keyakinan.

DATANG

Malam itu, kami datang lagi ke rumah batu lama. Kali ini kami memilih ruang tamu sebagai tempat pertemuan. Mia merestuinya.

Caranya sama seperti apa yang kami lakukan pada malam semalam. Cuma masanya saja dipercepatkan setengah jam lebih awal.

"Kita mulakan," kata saya sambil memegang bahu kanan Andi Kamarool.

"lya," balasnya lemah. Ada getaran keresahan bermain di dadanya.

"Dengan izin Allah kita berjaya," kata saya memberi semangat. Andi Kamarool mengangguk.

Saya segera memberi arahan kepadanya supaya bergerak seiringan menuju ke sudut kanan.

Di situ kami duduk, saling membelakangi menghadapi taburan bunga dan dupa yang mengeluarkan asap kemenyan.

Bau kemenyan terus menyumbat lubang hidung. Saya memperkemaskan sila dan menegakkan badan. Begitu juga dengan Andi Kamarool. Suasana terasa amat sepi sekali.

Beberapa orang yang ditemui siang tadi menyatakan, dalam waktu tertentu, (terutama menjelang senja dan subuh) mereka pernah terlihat tongkat bergerak sendiri dan bunyi gelas berlaga sesama sendiri yang dituruti dengan suara orang batuk.

Mengingati semuanya itu, saya jadi cemas sendirian.

Dengan penuh tenang, kami terus menunggu. Mana tahu mungkin sebentar lagi ada kejadian aneh menjelma.

Saya berusaha dengan sedaya upaya agar tidak terleka, mengantuk atau terkhayal. Andainya perkara sedemekian terjadi, pasti kegagalan yang diraih.

Saya kira, Andi Kamarool juga berbuat seperti apa yang saya buat. Masa terus berlalu, tidak ada apa-apa yang menjelma di depan mata.

Suara lolongan anjing, suara burung hantu, suara kucing jantan mengiau manja memanggil kucing betina. Semuanya tidak kami endahkan.

Saya menahan nafas dan dada terus berdebar. Seekor kucing hitam, entah dari mana datangnya berdiri betul-betul di hujung kepala lutut.

Matanya yang bercahaya merenung tajam ke arah saya. Lidahnya menjilat-jilat lantai simen rumah batu lama. Ketakutan dan kebimbangan segera berakhir, bila kucing hitam itu berlalu.

Ternyata sepanjang malam itu saya tidak mengalami sebarang kejadian aneh atau ganjil. Saya berjaya mengekang biji mata hingga pagi tetapi, apa yang saya alami tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Andi Kamarool.

"Pengalaman yang sungguh hebat," Andi Kamarool membuka mulut di saat sarapan pagi bermula. Saya berhenti menghirup air kopi, sepasang biji mata saya arahkan ke wajahnya.

"Ceritakan, aku nak dengar," saya mendesak.

"Baik," balasnya lalu berhenti mengunyah makanan.

Andi Kamarool pun menceritakan apa yang dialaminya. Setelah menumpukan seluruh kalbu dan pancaindera untuk berdepan dengan pengawal rumah batu lama, dia merasai badannya terhinjut-hinjut seperti berada di atas pelana kuda yang sedang berlari kencang.

Dan dalam masa yang sama, macam ada seseorang yang sengaja memulas kepalanya hingga mukanya berada di belakang.

Sakitnya bukan kepala, tidak dapat diceritakan atau dibayangkan kepada sesiapapun.

Andi Kamarool meronta dan melawan. Mungkin kerana marah, orang yang tidak dikenali mula bertindak kasar.

Andi Kamarool terus dihumban ke tanah lapang, seluruh tubuh terasa sakit dan tulang-temulang bagaikan hancur.

Andi Kamarool terjaga dan dia mendapati dirinya berada di tempat asal. Tidak berubah ke mana-mana dan sakit yang dialami hilang serta merta.

"Dahsyat juga," kata saya.

Andi Kamarool mengangguk perlahan sambil meneguk air kopi.

Saya menggigit bibir dan membuat kesimpulan, walaupun belakang kami bertemu tetapi, peristiwa yang kami alami tidak sama.

Apakah semuanya itu sebagai petanda yang kami akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit lagi?

Atau itu hanya sebagai ujian untuk menduga sejauh mana kesungguhan kami berdua dalam pencarian untuk bertemu dengan pengawal atau penunggu rumah lama? Macam-macam persoalan yang muncul di benak saya.

Sesungguhnya, sarapan pagi itu terlalu banyak menimbulkan persoalan yang buat kami terpaksa berfikir panjang.

"Lupakan apa yang kamu alami," nasihat Andi Kamarool, bila melihat saya kurang ghairah menjamah hidangan yang tersedia.

"Entah," saya mengeluh.

Andi Kamarool tersenyum panjang. Entah apa yang difikirkannya. Saya sendiri tidak tahu.

KEJUT

Petang itu, di saat saya dan Andi Kamarool berehat di halaman rumah papan. Dia muncul, kedatangannya memang di luar dugaan kami berdua.

"Main catur?" matanya menjunam kepada papan catur yang kami buat sendiri.

"Nak menghilangkan rasa jemu," saya menjawab.

Sebenarnya di samping main catur, kami juga berbincang sama ada mahu meneruskan usaha mencari pengawal rumah batu lama atau membatalkan saja. Dengan kehadiran Mia, perbincangan terpaksa dihentikan.

"Bagaimana? Dah dua malam mencuba, apa hasilnya?"

Mia renung muka saya dan secara tidak langsung pertanyaan itu memang ditujukan untuk saya. Tidak kuasa saya menjawabnya.

Tetapi, Andi Kamarool tidak mahu menghampakan hati orang yang disenanginya.

"Tidak berhasil," kata Andi kamarool.

Segaris senyum berlari di kelopak bibir Mia. Anehnya, pandangannya tidak bembah masih merauti saya, tidak kepada Andi Kamarool.

"Mahu diteruskan?" Mia ajukan pertanyaan. Dia tidak puas hati, kerana pertanyaan tadi tidak saya jawab.

"Iya, tetap diteruskan," balas saya.

"Di tempat yang sama Tamar?"

"Tidak."

"Habis di mana pula Tamar," Mia menjengilkan biji mata.

Saya dan Andi Kamarool berpandangan. Mia menanti penuh debar, wajahnya membayangkan keresahan.

Saya masih buntu, tidak tahu apakah jawapan yang harus saya tuturkan kepada Mia.

Dan wajah Andi Kamarool membayangkan rasa serba salah. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak kena dengan tindak-tanduk saya ketika itu.

Sebenamya, apa yang saya buat memang di luar pengetahuan Andi Kamarool. Tidak ada perbincangan atau permuafakatan sebelumnya. Semuanya berlaku secara spontan.

Apa yang saya ucapkan kepada Mia, adalah kemahuan hati saya sendiri. Tidak hairanlah, kalau Andi Kamarool nampak serba salah.

"Mahu ke mana kita Tamar?"

Kata-kata yang terpancut dari kelopak bibir Andi Kamarool meletakkan saya dalam keadaan serba tidak kena.

Bagi mengatasinya saya hanya bersandiwara dan diharapkan Andi Kamarool dapat memahaminya.

"Kau dah lupa dengan keputusan yang kita buat Andi?"

"Aku dah lupa Tamar."

Ternyata Andi kamarool dapat memahami situasi yang terjadi. Dia segera mengikuti irama yang saya mainkan. Kami pun berbalas senyum.

"Bukankah sudah aku cakapkan yang aku mahu bersendirian. Aku mahu bermalam di depan pintu masuk ruang tamu. Kau tidur seorang diri di rumah papan. Kamu cepat sangat lupa pada janji Andi."

Andi Kamarool makin cemas dan gawat. Dia menggigit bibir, mungkin dia berfikir, kenapa saya bertindak demikian.

"Satu cara yang baik, bila kau orang berdua, penunggu rumah takut nak jumpa," Mia terus ketawa.

Dia bagaikan meyindir kami. Tetapi, saya tetap memperlihatkan wajah yang serius.

"Tamar bersungguh-sungguh Mia, dia bukan berjenaka," bisik Andi Kamarool telinga Mia.

Dan ketawa Mia berhenti dengan serta-merta. Wajahnya mula menampakkan kesungguhan.

Dengan niat mencipta suasana aman, Andi Kamarool menceritakan pengalaman yang dilaluinya, Mia mendengar penuh khusyuk.

Sesekali kelihatan dia menggigit bibir dan menelan air liur. Barangkali, dia juga turut merasa kecewa dengan kegagalan demi kegagalan yang kami raih.

"Memang aku mengharapkan sangat-sangat yang kau orang berdua dapat berjumpa dengan apa yang aku cari.

"Selama ini hanya mendengar ceritanya saja. Ada dua tiga kali aku melihat bebayang manusia yang tidak tentu rupanya. Macam-macam cerita ganjil terjadi di sini aku dengar," Mia meluahkan apa yang tersembunyi dalam hatinya selama ini.

"Jadi, kami sudah buat keputusan nak tangguh depan tangga Tamar."

"Iya, Mia."

"Teruskan Tamar," Mia memberi semangat.

Dan dia mengubah topik perbualan ke arah lain. Mia banyak bercerita tentang tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasan tanah ladangnya.

Dan petang itu juga, dia membawa saya dan Andi Kamarool meninjau ke kawasan ladang getah, kebun pala, cengkih.

Seperti hari-hari sebelumnya, bila berjalan bersama Mia, saya pasti merasakan ada sepasang mata yang mengawasi gerak langkah saya dengan Andi Kamarool.

Bau hamis harimau mula terhidu, seiring dengan itu, terdengar seperti dedaun gerah kering dipijak sesuatu malah, ada dedaun itu yang pecah.

Makhluk yang memijaknya tidak dapat di lihat. Bila hati kecil saya memaki hamun benda yang tidak kelihatan, saya menerima padah yang tidak diduga.

Belakang saya terasa seperti dicakar-cakar. Tetapi, baju saya tidak pula koyak.

"Maafkan saya," cetus batin saya.

Dengan serta merta, badan saya tidak dicakar lagi. Namun begitu bunyi telapak kaki makhluk ghaib terus mengiringi langkah saya.

Melihat dari gaya langkah, ayunan tangan Mia dan Andi Kamarool yang rancak itu, ternyata mereka tidak diganggu makhluk ganjil.

Sudah hampir separuh kawasan ladang yang luas itu dikelilingi. Mereka berdua (Mia dan Andi Kamarool) tidak memperlihatkan rasa cemas atau bimbang. Masih rancak berbual dan ada ketikanya ketawa mesra.

Di saat matahari berubah warna menjadi kekuning-kuningan serta bergerak perlahan ke arah balik bukit nan menjulang, kawasan ladang yang luas itu segera ditinggalkan.

Kami berjalan perlahan menuju ke halaman rumah batu lama. Di situ, Mia bagaikan tidak mahu berpisah, dia masih bercerita tentang rumah papan, tentang tanah ladang peninggalan orang tuanya.

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 177/284

BACA: SBDJ Siri 176: Memanggil Makhluk Halus
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com

Thursday, December 31, 2020

SBDJ Siri 176: Memanggil Makhluk Halus

SBDJ Siri 176: Memanggil Makhluk Halus

Tetapi, jauh di sudut hati tetap mengatakan beberapa ciri yang diungkapkan oleh Kak Sun memang ada pada diri Andi Kamarool. Dan peristiwa di kubur lama yang terletak di bahagian belakang rumah batu lama itu, menyakinkan saya, bahawa Andi Kamarool memang ada kaitan dengan keturunan manusia harimau.

Toyol jadi-jadian

Memang, dialah lelaki yang paling layak untuk menjadi suami kepada Mia. Bukannya saya walaupun hati kecil ini memang jatuh hati dengan gadis yang bermata galak itu.

"Walau apapun, saya ingin benar nak jumpa dengan Haji Simpul Kak," nada suara Andi Kamarool agak keras, penuh dengan keyakinan.

Dan apa yang berlegar dalam tempurung kepala saya terus hilang. Saya gigit bibir dan terus merenung muka Andi Kamarool.

"Sabar dulu Andi, biar kak jumpa Haji Simpul dulu, kalau dia setuju bolehlah kak bawa kamu jumpa dia."

"Kenapa mesti jumpa dia dulu, kita pergi terus ke rumahnya tak bolehkah?" saya menyampuk.

"Kak fikir, cara apa yang nak kak buat ni, lebih bersopan dan beradab."

Saya anggukkan kepala.

"Eh, biar kak ke rumah Mia dulu, kalau lambat nanti dia merungut pula. Dia mahu meja makan dihias cantik untuk kamu berdua," Kak Sun terus bangun mengambil rangkaian bunga orkid pilihan yang terletak di sudut bangsal.

Setelah bebunga orkid itu dimasukkan ke dalam raga yang dibuat dari buluh, kak Sun merenung ke arah kami dengan segaris senyum ikhlas.

"Jangan lupa datang," katanya.

Serentak kami anggukkan kepala.

"Mia memang mengharapkan kedatangan kamu berdua," tambah Kak Sun lagi.

Senyumannya masih berbunga di kelopak bibir.

"Kami tak lupa Kak, mana boleh lupa dengan makan," saya membalas.

Dengan langkah dan lenggang yang bersahaja Kak Sun menuju ke rumah Mia. Hanya dalam beberapa detik saja, kak Sun hilang dari pandangan mata kami.

Kak Sun sudah pergi tetapi kami masih lagi berada di sudut bangsal. Masih belum dapat membuat keputusan tepat sama ada mahu balik atau terus pergi ke rumah Mia.

"Bagaimana Andi? Balik atau terus ke rumahnya?"

Andi Kamarool bagaikan terkejut dengan pertanyaan yang saya ajukan itu. Gigi atas dengan gigi bawah dilagakannya beberapa kali.

"Terlalu awal sangat nak pergi ke rumahnya. Malu kalau kita dianggap kemaruk sangat nak makan. Lagipun belum tahu masakannya sedap atau tidak" sambil ketawa kecil Andi Kamarool memberikan komentar.

"Kalau dah begitu, kita balik saja ke rumah papan."

"Iya, aku pun fikir macam tu, kita balik ke rumah rehat sekejap, kemudian mandi dan tukar pakaian, baru kita pergi ke rumahnya."

"Kalau itu keputusan kamu Andi, aku ikut saja."

Kami melangkah seiring menuju ke rumah papan.

Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bercakap. Tetapi saya tetap terhibur melihat dedaun yang hijau merimbun, terasa seronok mendengar kicau beburung yang beranika irama dan ragam.

Dalam saat-saat begitu alam dengan saya terasa amat akrab. Tidak boleh dipisahkan.

MENEPATI JANJI

Seperti yang dijanjikan, tepat jam 12.30 tengah hari kami berdua sudah pun berada di ruang makan rumah batu lama.

Saya memakai baju kemeja lengan pendek, warna merah, berseluar putih dengan sepatu getah hitam.

Andi Kamarool memakai baju lengan panjang, warna putih, seluar hitam dan bersepatu getah putih.

Pada saat itu, kami kira kamilah pemuda yang cukup bergaya dan tampan tetapi, antara saya dengan Andi Kamarool ternyata dia lebih kacak lagi.

Dengan tingginya lebih dari lima kaki tujuh inci, dia nampak bergaya dengan rambut yang disisir lurus ke belakang, manakala bahagian depan terjuntai atas dahi.

"Bergaya nampak," tegur Mia sambil merenung kami atas bawah.

"Jadi tetamu mestilah pakai cantik," balas saya.

"Merah putih, macam bendera negara ini," Mia merenung ke arah saya.

Usikannya itu membuat saya dan Andi Kamarool ketawa. Dengan usik mengusik, kemesraan terus terjalin.

Dengan cara yang bersahaja, Mia pun menyuruh kami duduk di kerusi, menghadapi hidangan yang tersedia atas meja.

"Entahkan sedap, entah tidak, cubalah rasa," tutur Mia dalam nada suara yang lembut.

Sepasang mata galaknya tertumpu ke arah kak Sun yang sedang menaruh nasi ke dalam pinggan kami.

"Boleh saya tanya sikit Mia?" tanya Andi Kamarool.

"Banyak pun boleh. Silakan."

"Apa nama masakan ni Mia? Masak Padang, masak Jambi atau Masak kerinci?"

"Aku tahu, agaknya masak Mendailing," saya terus mencelah. Kak Sun tersenyum tetapi Mia dan Andi kamarool ketawa kecil.

"Masakan ini sesuai dengan selera orang semenanjung dan orang Sumatera. Namakan saja masak dua serumpun. Jangan sebut masak Jambi, Mendailling dan Kerinci.

"Kita istiharkan masakan yang terhidang ni dengan nama "selera Melayu." Bukankah alam Melayu itu luas," Mia berjenaka.

Dalam jenakanya itu, dia seolah-olah mahu memberitahu bahawa rumpun Melayu tidak boleh bercerai atau pecah kerana puak atau suku.

Rumpun bangsa yang besar selalu bertelagah pendapat tetapi itulah kesimpulan yang saya buat dari jenaka pendek Mia.

"Cakap Mia tu ada betulnya," Andi Kamarool segera menegakkan ibu jari kanannya.

Cepat-cepat saya anggukkan kepala tanda setuju. Kak Sun tetap mendermakan senyumnya.

"Silakan, asyik bercakap makanan yang tersedia tidak dimakan," Mia bersuara.

"Iya tak iya juga, makanlah," sampuk Kak Sun.

Dan bau makanan yang menyelerakan itu membuat saya terasa amat lapar. Rasa malu dan segan mula tersisih jauh dari hati. Dan makan tengah hari pun bermula.

"Memang sedap dan menyelerakan," Andi Kamarool memberikan komentar di saat dia mengakhiri makan tengah hari.

Saya mengiakan dengan menganggukkan kepala. Tiada komen dari Mia, kecuali senyum bersama jelingan manja. Bukan untuk saya tetapi untuk Andi Kamarool.

Sebagai pemanis mulut, disediakan buah salak Jambi dan semangka yang enak.

Bila semuanya sudah usai, ruang makan kami tinggalkan. Kami labuh di ruang tamu seketika, sebelum pulang ke rumah papan.

"Malam ni, kamu berdua nak tidur di ruang anjung rumah batu?" cara mendadak Mia muncul di depan kami.

"Iya," jawab kami serentak.

"Kamu tahu, malam ni, malam apa?"

"Mahu menguji kami, malam ni malam Jumaat," sahut Andi Kamarool.

"lngatan kamu cukup bagus Andi," puji Mia.

SINDIRAN

Tetapi, saya tidak menganggap itu satu pujian yang ikhlas. Pada hemat saya, itu satu sindiran yang tajam, seolah-olah meragui kemampuan dan kesunggguhan kami berdua dalam usaha bersemuka dengan penjaga rumah batu lama.

"Aku harap jangan tak jadi," tambah Mia lagi.

"Dengan izin Allah, semuanya akan berjalan dengan baik," nada suara yang penuh dengan keyakinan, bersalut semangat kental terucap dari kelopak bibir Andi Kamarool.

Macam tadi juga, Mia hanya tersenyum dengan seribu persoalan yang sukar dicari jawapannya.

Memang tidak dinafikan, berada di ruang tamu rumah batu lama, macam-macam yang saya fikirkan.

Lebih-lebih lagi bila melihat beberapa barang dan perkakas antik yang tersedia ada di situ. Semua yang terlintas dalam kepala adalah perkara yang menyeramkan.

Contohnya, bila terlihat beberapa batang tongkat antik yang terletak di meja khas di sudut ruang tamu.

Semua kepala tongkat di ukir dengan kepala binatang seperti singa, harimau beruang, burung helang dan ular berkepala dua.

Bahagian mata ditaruh sejenis batu kilat, bila terkena sinar matahari kelihatan berkilau- kilauan seperti bergerak ke kiri ke kanan.

"Kamu macam takut aje, bila tengok tongkat lama, Tamar."

Memang tidak saya duga sama sekali yang Mia memperhatikan gerak- geri saya.

"Bukan takut, cuma kagum dengan kehalusan seni ukirannya," saya berdalih.

"Semua tongkat-tongkat antik tu, buatan luar negeri. Ada dari Turki, Iran, Iraq dan China," tanpa di minta Mia terus menerangkan. Saya anggukkan kepala.

"Anehnya, orang-orang cuma kagum pada ukirannya tapi, mereka tak minat untuk menyimpannya," Mia menyambung percakapannya yang terputus.

Buat seketika saya termenung dan Andi Kamarool seperti tidak mahu ambil tahu dengan apa yang berlaku. Dia mengelamun sendiri.

"Buktinya?" tanya saya.

"Tak ada yang minta atau mahu membelinya. Bila mahu diberi, mereka menolak. Kalau kau minat dengan tongkat, pilihlah dan ambil mana yang kau suka."

Saya tergamam. Mata Mia yang bulat bersinar merauti seluruh wajah saya. Memang di luar jangkaan yang Mia boleh bermurah hati.

"Saya tak minat dengan tongkat" jawab saya sambil menggelengkan kepala.

Memang tidak diduga, kata-kata yang saya hamburkan disambut dengan ketawa oleh Andi Kamarool dan Mia. Bagi menghilangkan rasa rendah diri saya turut ketawa.

"Aneh, percinta seni tidak minat pada ukiran seni."

"Ada masanya mesti bersikap begitu, tidak semua hasil seni tu aku minat Andi," saya kira jawapan itu akan membunuh minat Andi Kamarool untuk melanjutkan topik perbicaraan yang tidak saya senangi.

Usaha saya berhasil, Andi Kamarool tidak menyebut-nyebut perkara itu lagi.

"Kami balik dulu, waktu zuhur dah nak masuk," Andi Kamarool bangun. Dia melangkah ke pintu.

"Malam ni, lepas sembahyang maghrib, kau berdua datang ke sini. Kita makan bersama. Lepas tu, kau orang jalankan apa yang kau orang hajatkan," tutur Mia penuh kemesraan. Kami segera mengangguk setuju.

Dari ambang pintu, sepasang mata Mia menghantar kami hingga ke kaki tangga rumah papan.

Sungguh mendebarkan, di saat kami berada di muka pintu rumah papan, Mia masih belum mengarahkan pandangannya ke arah lain.

Adakah renungan itu untuk Andi Kamarool yang sudah berjaya menyingkap rahsia hatinya atau renungan yang mempunyai maksud lain.

"Andi."

"Kenapa Tamar?"

"Mia merenung kamu."

Andi Kamarool segera menoleh ke arah Mia. Seulas senyum berlari di ketopak bibir Andi Kamarool lalu diiringi dengan lambaian tangan.

Antara mereka berdua sudah tersimpul tali kasih, begitulah saya membuat kesimpulan. Semoga, apa yang mereka hajati akan menjadi kenyataan.

Kebahagiaan dan keriangan yang bakal diraih oleh Andi Kamarool akan memberi kepuasan dalam hidup saya. Itu doa dan harapan yang muncul dalam hati nurani saya.

"Dia senang dengan kamu Andi."

"lya, aku juga senang dengannya, Tamar."

"Teruskan."

"Tapi..." Andi tidak meneruskan kata-kata.

Dan saya tidak pula mahu mencungkilnya. Persoalan tersebut mati begitu saja.

PERASAAN

Begitulah didorong oleh perasaan untuk melihat rupa dan bentuk pengawal (penjaga) rumah batu lama secara zahir, memaksa saya dan Andi Kamarool melangkah ke anjung rumah batu tepat pukul dua belas malam.

Sebelum duduk bersimpuh, saya pun menaburkan bunga tanjung dan cempaka di ruang anjung.

Berbekalkan sebanyak sedikit cara dan petua orang menyepi serta memanggil makhluk halus, saya pun menyuruh Andi Kamarool membakar kemenyan.

Dupa pun diusung ke setiap sudut ruang anjung. Di mulai dari kiri membawa ke kanan, bergerak sebanyak tujuh kali berturut.

Tujuh batang lilin yang dipasang menyala agak malap. Cahayanya tidak dapat menguasai seluruh kawasan ruang yang dikatakan cukup keras itu.

Udara malam Jumaat terasa agak dingin. Suasana sekitar terasa amat sepi tetapi desiran angin yang menyentuh dedaun masih dapat ditangkap oleh gegendang telinga saya.

Saya mengarahkan Andi Kamarool supaya duduk saling membelakangi. Ketika tangan memeluk tubuh, secara mendadak saja lilin yang dipasang padam sendiri. Ruang anjung kegelapan.

Salakan anjing yang memanjang dan mendayu-dayu mula kedengaran suara burung hantu, saling bersahut-sahutan.

Angin malam Jumaat mula terasa menyentuh kulit muka. Bau kemenyan bertambah semerbak berpadu dengan bau bunga tanjung dan cempaka menusuk lubang hidung. Saya mula terasa mahu bersin tapi tak jadi.

Dalam suasana yang gelap gelita itu, macam-macam bunyi yang sebelum ini tidak pernah kami dengar menusuk lubang telinga.

Lolongan anjing dan bunyi burung hantu bersama desiran angin bagaikan tidak berkesudahan.

Saya bertambah resah, tubuh mula merayapi benda halus yang licin dan berkaki banyak, merayap atas dagu, pipi dan lengan serta atas paha. Gelinya Allah saja yang tahu.

Bila benda-benda halus itu keluar masuk lubang hidung dan telinga membuat saya sesak nafas. Entahkan lipan, entahkan ular atau lipas yang merayap, sukar untuk saya menentukannya.

Semuanya terpaksa dibiarkan. Semuanya terpaksa direlakan demi untuk bersemuka dengan penjaga rumah batu lama.

Sudah menjadi peraturan semasa bertafakur (bersemadi) apa yang merayap di badan, tidak boleh disentuh. Mesti bergerak sebebas-bebasnya.

Bercakap juga tidak boleh, seluruh pancaindera dan mata hati mesti dipusatkan kepada perkara yang dihayati.

Jika semuanya itu tidak mampu atau tidak terdaya dilakukan, sudah semestinya apa yang diingini tidak akan menjadi.

Agak lama juga kami berada dalam gelap gelita, menunggu kalau ada kejadian ganjil atau petunjuk ghaib yang akan mempertemukan kami dengan penunggu rumah batu lama seperti yang didakwa oleh Kak Sun dan para para pekerja Mia.

Dalam keadaan sedang berfikir itu, saya terdengar dengkur Andi Kamarool. Dia sudah tidur. Ini membuat saya resah. Saya tidak boleh mengejutkannnya, walau dengan apa cara sekalipun.

Dalam gelap pekat itu, saya terus memusatkan seluruh pancaindera dan mata batin ke arah yang dihajati. Tetapi, hasilnya, tiada apa-apa.

Rasa putus asa tidak bertandang di sanubari. Saya terus berusaha dengan harapan penjaga rumah akan muncul.

Dengan sedaya upaya saya arahkan pancaindera dan mata hati hingga saya lupakan diri sendiri, lupakan kewujudan Andi Kamarool di sisi.

Tidak ada apa yang saya dengar, fikiran dan perasaan saya terasa kosong. Dunia bagaikan tiada wujud dalam hati dan fikiran saya.

SEMADI

Dalam keasyikan bersemadi itu, tiba-tiba saja terasa tubuh terangkat dari lantai (simen) anjung rumah batu lama secara perlahan-lahan.

Punggung seperti berada di atas telapak tangan manusia. Saya cuba mengawal agar jangan jatuh, dalam keadaan separuh bingung dengan apa yang saya alami.

Tubuh saya terus terangkat semakin tinggi. Dihayun ke kanan, ke kiri. Di gerakkan ke belakang. Kemudian tubuh terus dipusing macam gasing tetapi, kaki saya tetap dalam keadaan bersimpuh atau bersila.

Tubuh saya terus dipermainkan. Dicampakkan ke setiap penjuru ruang tamu. Tidak ubah macam bola, digolek di tendang sesuka hati.

Semasa tubuh saya diperlakukan demikian, antara sedar dengan tidak saya bersuara.

"Agaknya penunggu rumah ni, mahu mengajar aku ilmu mempertahankan diri yang baru. Ilmu silat yang luar biasa. Kalaulah itu tujuannya saya bersedia menerimanya. Ajarlah, saya sanggup."

Memang saya mengharapkan kata-kata yang diluahkan itu akan dapat tindak balas. Susah dan sakit saya rela menanggungnya. Ternyata apa yang saya harapkan tidak menjadi kenyataan.

Tiada jawapan dari makhluk halus (penjaga rumah) yang saya perolehi, Malah tubuh saya terus dihayun, dipusing dan dicampakkan ke mana-mana saja, sesuka hati.

Akibatnya saya mula pening dan bercelaru, kosong melopong dan melayang-layang. Seperti berada di alam fantasi yang tiada bertepi.

Di antara sedar dengan mimpi, saya melihat cahaya berlegar-legar di luar ruang anjung. Dengan tidak semena-mena cahaya itu mengarah kepada saya. Bagaikan masuk ke tubuh badan.

Buat beberapa saat, hati dan kepala jadi panas, seperti terbakar rasanya. Bila rasa panas itu hilang, bagaikan ada kuasa yang membawa saya keluar dari anjung rumah.

Tubuh saya (masih dalam keadaan bersila) diletakkan atas bumbung rumah batu lama. Terdengar bisikan telinga, menyuruh saya terjun. Arahan itu saya bantah dengan alasan takut.

Bisikan itu datang lagi. Kalau tadi suara lelaki, kali ini suara perempuan merayu lembut dan manja. Bisikan suara perempuan menimbulkan rasa serba salah dan ragu. Apakah saya harus mematuhi atau menolaknya?

Di saat mencari keputusan itulah, seperti ada seseorang berdiri di belakang saya. Dengan kaki orang itu menolak saya. Peliknya, tubuh saya tidak jatuh terus ke tanah, sebaliknya macam daun kering dibawa angin.

Semasa melayang-layang itulah saya melihat gunung ganang, lurah dan gaung, sungai dan paya di samping hutan belantara yang menghijau.

Dan akhirnya tubuh saya tidak mengalami rasa sakit. Tubuh saya bagaikan berada di atas sekeping permaidani.

Saya cuba bangun dan berusaha untuk naik ke ruang anjung rumah batu lama. Ternyata usaha itu tidak berjaya, setiap kali saya cuba masuk ke ruang tamu untuk naik ke ruang anjung rumah, tubuh saya ditarik ke belakang.

Sesudah lima enam kali berusaha dan gagal, saya kembali duduk dan mula memikirkan bagaimanakah cara yang sepatutnya saya lakukan.

Bagaimana kalau saya naik ikut tangga kayu yang secara kebetulan tersandar di dinding rumah batu lama?

Semasa saya bangun dan bersedia untuk menuju ke arah tangga kayu, tubuh saya dipeluk dari belakang. Saya gagal melepaskan diri.

Tubuh yang kecil ini terus dipikul dan dicampakkan ke atas rakit buluh di muara sebatang sungai.

Saya lihat air di mana-mana. Empat batang anak sungai bertemu muara. Ramai gadis jelita mandi berkemban dan sebahagian yang lain membasuh.

Ada juga di antara mereka yang berbogel, berenang dan menyelam dengan bebas. Semuanya berkulit putih dan sebahagian kecil saja yang berkulit sawo matang.

Buat beberapa saat saya terpesona dengan kejelitaan para gadis. Rakit yang saya naiki terus dirempuh gelombang besar dan saya tercampak ke dalam sungai.

Dengan sedaya upaya saya berenang ke tebing dan berusaha naik ke darat.

Entah mengapa, semua yang saya lakukan tetap mengalami kegagalan. Saya bertambah bingung dan mula pasrah pada keadaan. Saya merelakan apa yang akan berlaku pada diri saya. Sesungguhnya saya rela mati.

Dalam keadaan putus asa itu, ada lelaki tua melintas di depan membawa bungkusan. Dari bibir tebing dia merenung ke arah saya yang terkapai-kapai dalam air.

Dia terus berlalu dan hilang. Saya kembali berusaha memanjat tebing sungai dan kali ini saya berhasil.

"Kamu berjaya."

Saya mula tersedar. Saya tidak tahu suara siapakah yang saya dengar sebentar tadi. Sebenarnya saya tidak ke mana-mana. Masih berada di tempat asal. Masih bersila dan memeluk tubuh.

"Subhanallah...." terungkap dari bibir.

"Alhamdulillah...." balas Andi kamarool.

Kami saling berpandangan.

Bila sudah bercakap ertinya melanggar pantang larang dan usaha selanjutnya adalah kerja yang sia-sia.

Pencarian untuk malam itu sudah menemui jalan buntu. Menyedari kegagalan itu, saya terus menyalakan api lilin.

"Kita gagal," bisik saya ke telinga Andi Kamarool.

Dia mengangguk lemah.

RAHSIA

Akhirnya, terbongkar rahsia. Andi Kamarool yang saya sangkakan tidur, sebenarnya dia tidak tidur. Timbul pertanyaan dalam hati, suara dengkur siapakah yang saya dengar tadi?"

"Aku sangka kamu tidur Tamar. Aku dengar kamu berdengkur."

"Soalnya, kita sama-sama tidak tidur, Andi."

"Jadi, suara dengkur siapakah yang kita dengar tadi?"

"Susah untuk kita mencari jawapannya Tamar," kata Andi Kamarool.

"Walau apapun, kita sama-sama gagal, penunggu rumah batu lama tak mahu jumpa kita atau penunggu tu memang tidak ada?"

"Kita cuba lagi, Andi," saya memberikan harapan dan semangat.

Sungguh mengejutkan, bila Andi Kamarool memberitahu antara sedar dengan tidak (seperti yang saya alami) dia telah didatangi oleh seorang gadis cina berambut panjang.

Parasnya sangat cantik dan dari cara dia berpakaian menunjukkan dia dari golongan mewah.

Dengan wajah manis, Andi Kamarool menyapa dan memohon berkenalan. Gadis cantik itu dengan penuh sopan menyatakan keberatannya untuk berkenalan dengan Andi Kamarool.

"Awak bukan mahu berkenalan, ada tujuan lain."

"Maksud awak?"

"Tujuan sebenar awak, mahu bertanya tentang keluarga saya. Tentang orang yang menjaga kawasan rumah ini. Minta maaf, saya sibuk."

"Saya tidak bermaksud begitu," balas Andi Kamarool."

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 176/284

BACA: SBDJ Siri 175: Calon Suami Gadis Harimau
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com

Tuesday, December 22, 2020

SBDJ Siri 175: Calon Suami Gadis Harimau

SBDJ Siri 175: Calon Suami Gadis Harimau

Apa yang menarik tentang Kak Sun ialah, cara dia menyampaikan cerita penuh dengan perasaan. Ada ketikanya terasa amat melucukan tetapi makin lama mengikut ceritanya makin terasa seram. Mengundang rasa takut yang tidak menentu seolah-olah bagaikan ada makhluk halus yang sedang mengikuti pergerakkan kami.

Toyol jadi-jadian

Bagi menghilangkan rasa takut itu saya segera mendekati Andi Kamarool. Bahu kami segera berlaga dan ternyata perbuatan itu kurang disenangi oleh Andi Kamarool.

Dia segera menjauhkan tubuhnya dari tubuh saya. Memang, kau tak faham dengan apa yang aku rasakan Andi rungut batin saya.

Sebelum menyambung cerita yang terputus, Kak Sun renung ke arah dahan pokok besar atas kepala.

"Bila ayahnya mati, abang Mia ambil keputusan menjual barang-barang antik dalam rumah ni."

"Apa dia barang-barang antik tu Kak Sun?" soal saya.

"Lampu dari timur tengah, macam lampu Aladin tu, ukiran patung kayu, peti kain, mesin jahit, peti nyanyi dan macam-macam lagi."

"Kenapa dijual? Bukannya senang nak dapat barang-barang antik macam tu," Andi Kamarool renung muka Kak Sun penuh dengan tanda tanya.

Lagi sekali Kak Sun dongakkan muka ke dahan pokok besar, macam ada sesuatu yang dilihatnya di situ. Sudah tentu perbuatannya itu menimbulkan keraguan dalam diri saya.

"Sebabnya, tak ada tempat nak simpan. Lagi pun simpan barang-barang lama ni susah Andi, banyak pantang larangnya, silap-silap cara boleh bawa padah."

"Huh," Andi Kamarool membeliakkan biji matanya. Dia terkejut.

"Ada orang yang membelinya kak Sun?" saya tidak jemu mengajukan pertanyaan.

Saya lihat kak Sun tersenyum lebar.

"Ramai orang yang membelinya tetapi mereka mengalami hal-hal yang ganjil. Kaum keluarga mereka hidup tak aman. Kerana si ayah minat barang-barang antik, anak isteri terima padah."

"Apa dia padah yang dia orang terima kak?" minat ingin tahu makin besar tumbuh dalam hati saya.

"Dikacau pengawal rumah, hidup tidak aman."

Untuk sekian kalinya saya dan Andi Kamarool menarik nafas dalam- dalam. Kak Sun nampak tenang tetapi, bila ada kesempatan dia tetap mendongakkan mukanya ke arah dahan pokok besar. Tentu ada sesuatu yang dilihatnya di situ.

Kak Sun terus bercerita:

Seorang peniaga yang membekalkan keperluan harian untuk keluarga Mia, jatuh hati dengan almari antik dari China. Tanpa berfikir panjang dia terus membeli almari itu dan ditempatkan di kedainya.

Semua pelanggan yang datang ke kedainya merasa kagum dengan keindahan ukiran pada almari itu. Pemilik kedai hanya senyum bangga.

Namun, kemegahan dan kebanggaan pemilik kedai, segera bertukar menjadi cemas. Tanpa disangka-sangka pada suatu subuh dia dikunjungi oleh manusia hitam berbadan besar yang mendesaknya supaya almari antik dipulangkan segera ke rumah keluarga Mia.

Pada mulanya pemilik kedai enggan mematuhi permintaan manusia hitam, tetapi dalam kunjungan berikutnya, manusia hitam berbadan besar mula memperlihatkan kemarahannya.

Pemilik kedai terpaksa mengalah dan almari antik dipulangkan kembali ke tempat asalnya.

Sekiranya ada pekerja disini yang bertindak kurang ajar atau tidak disenangi oleh Kak Sun, pasti diganggu oleh orang hitam berbadan besar yang disebut oleh Kak Sun sebagai pengawal rumah.

Akibatnya, pekerja yang terbabit tidak senang hati dan terus minta berhenti kerja.

Dari cerita Kak Sun itu saya segera membuat kesimpulan yang Kak Sun dapat menterjemah apa yang dimaksudkan oleh si penjaga.

Ini berlainan dengan Mia, walaupun sering berdepan dengan kelibat dan bayang-bayang orang hitam, ternyata Mia tidak mampu meneka atau menterjemah kehadiran si pengawal.

Kalau Kak Sun sering melihat sesusuk tubuh lelaki tetapi si Samion lain pula yang dilihatnya.

Pernah Samion agak lewat meninggalkan kawasan rumah batu kerana dia membantu Kak Sun mengubah pasu bunga orkid daripada bangsal ke tempat lain.

Kerana asyik menolong Kak Sun tanpa disedari hari sudah berada di remang-remang senja dan pada saat itu, secara tidak sengaja Samion terserempak dengan sesusuk tubuh seorang wanita cina tua.

Akibat terkejut, Samion terus menjerit dan lari lintang pukang. Beberapa pasu orkid turut pecah. Dari jeritan Samion itu, Kak Sun sudah dapat menduga apa yang ditemui oleh Samion.

"Sejak kejadian tu, Samion tidak berapa senang kalau Kak ajak dia membantu kerja-kerja kak di bangsal hingga pukul enam petang. Dia hanya tolong kak setakat pukul enam saja," tutur Kak Sun yang diakhiri dengan ketawa kecil.

Mungkin dia masih dapat membayangkan kelucuan peristiwa tersebut.

Menurut Kak Sun yang peramah dan tidak pandai menyimpan rahsia itu, kemunculan bebayang atau kelisan manusia yang aneh itu mengikut keadaan tertentu.

"Biasanya, dia datang bila kak menghadapi masalah atau datang memberi petanda dan alamat.

"Contohnya, sebelum kamu datang, kak sudah dapat alamat atau gambaran yang kamu akan tiba di sini.

"Kak tahu memang sulit untuk menyakinkan siapa saja tentang hal ini, tetapi bagi kakak, penjaga atau pengawal rumah batu lama tu, memang ada."

"Alamat atau tanda-tanda yang kakak dapat tu, kak bagi tahu pada Mia?" soal saya.

"Iya," angguknya.

"Tapi tidak semua. Kalau alamat itu membawa tanda- tanda bahaya baru kak bagi tahu. Kedatangan kamu berdua bersama Haji Basilam, kakak tak bagi tahu."

"Kenapa tak bagi tahu?" tanya Andi Kamarool.

"Penjaga rumah ni, dah kenal dengan Haji Basilam. Dia tu kawan baik arwah ayah Mia. Dia tahu asal usul sejarah rumah ni," sebuah penjelasan yang cukup menyakinkan dari Kak Sun.

Meskipun perasaan cemas sudah tiada dihati, saya tetap waspada. Renung kiri, renung kanan.

Ada ketikanya dongakkan kepala merenung dedaun dari pokok besar yang memayungi kami. Beberapa ekor tupai berkejaran di dahan pokok sambil berbunyi. Angin terus bertiup lembut.

"Pernah sepupu kakak meninggalkan basikalnya di sini untuk diambil oleh kawan karibnya yang kebetulan bekerja dengan Mia," masih ada cerita yang mahu diungkapkan oleh Kak Sun kepada kami.

"Kerja sebagai apa kak?" terkeluar pertanyaan dari saya.

"Menjaga kebun pala."

"Habis apa dah jadi?" Andi Kamarool pula menyoal.

"Perkara tu, saya sampaikan kepada pekerja tersebut. Dua tiga kali pekerja itu datang. Peliknya dia tidak pula mengambil basikal tersebut, dia sekadar melihatnya saja," Kak Sun berhenti bercakap dia menarik nafas dalam-dalam.

Matanya merenung kosong ke depan. Kak Sun saya lihat seperti tidak mahu meneruskan cerita selanjutnya. Ini menimbulkan tanda tanya dalam diri.

Dan cara yang paling baik ialah memaksa Kak Sun secara terhormat untuk meneruskan cerita tersebut.

"Habis apa dah jadi dengan basikal tu Kak?"

Saya lihat Kak Sun seperti tersintak dari lamunan.

Dia segera menelan air liur. Sepasang anak mata hitamnya diarahkan kepada saya. Sebuah senyuman saya hadiahkan untuknya.

"Mia merungut kepada kakak, dia kurang senang basikal itu tersadai di kawasan rumahnya.

"Kakak tak terangkan bagaimana keadaan sebenar kepada Mia. Pada hal Kak sendiri pun merasa hairan kenapa kawan pada sepupu kak tak mahu mengambil basikalnya. Dia cuma tengok saja."

"Pelik juga kawan sepupu kak tu, agaknya basikal curi. Itulah sebabnya dia tak mahu ambil," Andi Kamarool buat penilaian sendiri. Kak Sun tersenyum mendengarnya.

"Basikal barang curi, memang dia yang punya. Hampir sebulan basikal tu terbiar, hinggalah pada suatu petang secara tidak sengaja," kakak terus berkata.

"Basikal ni ada tuannya. Kamu berikan pada tuannya, bila dia datang. Tidak sampai dua jam kemudian pemilik basikal itu pun datang dan terus mengambilnya dengan senang hati."

"Kali ini mudah benar, selalu tu bila saya nak pegang handle basikal macam ada orang yang menahannya," ujar pemilik basikai itu pada Kak Sun.

Dan Kak Sun mula faham siapa sebenarnya penghalang pemilik basikal itu mengambil haknya.

Bila basikai sudah tiada di situ Kak Sun rasa senang hati. Dirinya terlepas dari rungutan Mia dan pada sebelah malamnya, Kak Sun di datangi oleh pengawal rumah batu lama.

"Salah kamu sendiri suruh orang luar taruh sesuka hati, kau bukan tak tahu, aku mengawal seluruh kawasan rumah ni, jadi barang tu aku jagalah.

"Cuba kamu cakap barang itu milik orang ni, untuk sementara waktu saja lagi pun bersopan sikit, kalau nak tumpang barang minta izin dulu," Kak Sun mengajuk cara orang hitam itu bercakap.

Saya dan Andi Kamarool ketawa terkikih, bila melihat gerak-geri dan cara Kak Sun bercakap mengikut gaya pengawal rumah itu.

"Jangan ketawakan kak, nanti ada orang yang marah."

"Maafkan kami," serentak saya dan Andi Kamarool bersuara.

Meskipun demikian, kawan kepada sepupu Kak Sun itu tidak tahu langsung kenapa dia merasa takut dan cemas setiap kali dia mahu mengambil basikalnya.

Perkara itu tidak pernah dicakapkannya kepada sesiapa pun dan terus menjadi rahsia dirinya.

Kak Sun tetap yakin, jika orang yang datang ke kawasan rumah batu lama, tidak buat hal kurang ajar, usik itu usik ini, tidak cakap sebarangan sudah pasti penungggu (pengawal) rumah tidak melakukan apa-apa pada orang yang datang itu.

Kak Sun pun membuka kisah tentang dua orang kawan kepada abang Mia, seorang Melayu dari keturunan Bawean, manakala seorang lagi dari Acheh. Tujuan mereka datang ialah untuk mencari barang-barang antik.

Sebaik saja masuk ke ruang rumah batu lama itu, mereka berlagak seolah-olah rumah itu sebagai sebuah tempat pameran.

Masuk sana, masuk sini. Usik itu, usik ini dan bercakap ikut sedap mulut saja. Diri Kak Sun mereka tidak kisah dan pandang semacam saja.

"Nasib baik mereka tak masuk bilik larangan," kata Kak Sun kepada kami.

"Mereka tak kena apa-apa kak?' tanya saya.

"Manakah tidak, orang daripada Singapura tu, tiba-tiba menjerit tidak tentu fasal, macam kena rasuk. Orang dari Acheh dibaling dengan batu dan dipukul dengan kayu, tubuhnya jadi bengkak-bengkak. Tidak tahu, siapa yang memukulnya.

"Kedua-dua orang itu terpaksa dibawa keluar dari rumah lama. Sebaik berada di luar rumah, orang yang menjerit tadi terus berhenti menjerit, orang yang dipukul tidak lagi kena pukul."

"Jadi mereka tak beli apa-apa pun kak?" Andi Kamarool bertanya.

"Usahkan beli, bertanya pun tidak. Mereka terus cabut," kata Kak Sun.

Seterusnya Kak Sun beritahu, memang ramai yang datang ke rumah lama untuk membeli barang antik.

Tetapi kebanyakannya pulang dengan tangan kosong, mereka terasa semacam ada yang menghalangnya.

Kalaupun berjaya memilikinya tetapi tidak lama, sebulan dua mereka terpaksa memulangkannya semula.

"Selain dari Haji Basilam, siapa lagi yang tahu tentang hal keluarga Mia dan rumah batu lama ni," Andi Kamarool mula memasang jerat untuk cungkil rahsia keluarga Mia sebanyak mungkin.

"Ada Andi."

"Siapa orangnya kak?"

"Haji Simpul."

Saya dan Andi segera berbalas pandangan.

"Duduk di mana kak?" saya menguluskan pertanyaan.

"Rumahnya, di hujung kampung. Umurnya dah dekat sembilan puluh tahun. Giginya masih kuat, rambut dah memutih seluruh kepala tetapi penglihatan dan pendengarannya masih elok. Dia ada menyebut tentang diri Mia pada kak."

"Apa katanya tentang Mia kak?" tanpa sabar saya terus menyoal.

Andi Kamarool segera melagakan gigi atas dengan gigi bawah berkali kali.

Soalan dari saya membuat Kak Sun tersintak dan terdiam. Dari air mukanya dapat saya baca rasa kesal kerana secara tidak sengaja dia menyebut nama Haji Simpul.

Menyedari situasi Kak Sun yang serba tidak kena itu, Andi Kamarool segera mengemukakan pertanyaan.

"Boleh kak bawa kami jumpa dengannya?"

"Nak buat apa?" sepasang biji mata Kak Sun terbeliak besar macam biji mata getah, merauti wajah saya dan Andi Kamarool.

Saya terus tersenyum. Tidak disangka Kak Sun yang agak pendiam itu memiliki karakter yang melucukan.

"Bukan apa-apa, saya cuma nak tanya rahsia diri dan keluarga Mia. Bila saya dah tahu rahsia keturunan ini, saya nak jadikan Mia yang cantik itu isteri saya, Kak Sun," usik Andi Kamarool.

Saya ketawa terkikih, satu pertanyaan yang kira sungguh lucu dari Andi Kamarool.

Perkara yang saya anggap lucu itu, adalah sesuatu yang serius untuk kak Sun. Dia tidak mengira itu adalah sebuah gurauan.

Apa yang lahir dari mulut Andi Kamarool adalah perkara benar yang tidak boleh dikira sebagai perkara remeh-temeh, demikian tanggapan Kak Sun.

Kak Sun segera bangun. Berjalan mundar mandir di depan kami. Dua tiga kali dia menggosok hujung dagu dengan jari telunjuk.

Dia betul- betul resah. Sesekali dia dongak ke arah dahan dan dedaun pokok besar untuk beberapa detik.

Dari situ pandangan dialihkan ke arah awan gemawan yang bergerak lembut menuju ke arah barat daya.

Tiba-tiba dengan cara mengejut dia duduk kembali di bangku, lalu mata besarnya menatap tubuh Andi Kamarool, dari bawah ke atas perkara itu diulanginya berkali-kali. Saya pula jadi resah.

"Aku ingat kau tak payah jumpa dia, Andi."

"Kenapa pula kak?"

"Kalau setakat nak tahu rahsia, macam mana nak kahwin dengan Mia, aku boleh terangkan. Haji Simpul dah cakap pada aku Andi."

"Bila dia cakap dengan kak? Minggu sudah atau sebulan yang sudah?"

"Lama dulu, semasa si Badrul dari kampung Bangko mahu masuk meminang Mia. Masa itulah, kak dengar Haji Simpul menasihati Badrul mencari anak dara lain di tanah Kerinci ini."

"Sebabnya kak?" soal Andi kamarool lagi.

"Bukan apa-apa, Mia dan Badrul tak selari, tak serasi hidup sebumbung.

Kata-kata yang terpancut dari kelopak bibir Kak Sun membuat saya dan Andi Kamarool termenung sejenak. Kak Sun menyedari perubahan yang terjadi kepada kami berdua.

Dia seperti tidak berminat untuk meneruskan cerita, jika kami tidak berusaha memperlihatkan kesungguhan, sudah pasti Kak Sun menyambung kembali percakapan yang terputus.

"Apa maksud Haji Simpul bercakap macam tu, tak baik menggagalkan orang yang nak mendirikan masjid," saya cuba menghidupkan kembali suasana yang sudah menjadi dingin.

Andi Kamarool anggukkan kepala, setuju dengan apa yang saya luahkan. Sementara itu Kak Sun tersenyum panjang.

Dua tiga kali dia menepis lalat hijau yang berpusing-pusing di depan mukanya dengan telapak tangan kiri sambil merungut.

Apa yang dirungutnya tidak dapat saya dengar dengan jelas.

"Haji Simpul tidak sejahat tu, cakap dan tegurannya bersebab. Maklumlah cakap orang tua yang banyak pengalaman, sudah mengenali luar dalam tentang keluarga Mia," nampaknya bersungguh-sungguh benar Kak Sun mempertahankan manusia yang bernama Haji Simpul itu.

Biji matanya tetap ke arah wajah saya dan Andi Kamarool. Seolah-olah mahu membaca apa yang yang tersirat di sanubari kami berdua melalui wajah.

Kerana ada kesungguhan dan minat yang mendalam membuat kami serius dengan apa yang dicakapkannya.

Kelopak mata kami tidak berkedip, taktik yang kami lakukan itu berhasil sehingga tidak menimbulkan sebarang kecurigaan di hati Kak Sun.

"Anak cucu orang yang keturunan dengan datuk nenek Mia saja yang boleh menikah dengan Mia. Orang yang tak seketurunan kalau kahwin dengan Mia boleh mendatangkan kesusahan.

"Paling tidak rumahtangga mereka tidak aman, saling bercakaran, tak boleh dapat keturunan. Paling dahsyat si suami jadi kurus kering dan akhirnya mati tanpa dapat dikesan jenis penyakitnya," lanjut Kak Sun membuat bulu roma saya berdiri.

"Tapi....." saya tidak dapat meneruskan percakapan.

"Tapi apa Tamar, cakaplah," sergah Kak Sun.

"Perkara yang mustahil, keturunan datuk nenek Mia bukan Tuhan yang boleh menentukan kebahagiaan dan kecelakaan orang lain," sanggah Andi Kamarool,

"Huuuuuuu... tentang itu aku tak tahu, tapi itulah yang dicakapkan orang-orang tua yang sebaya dengan Haji Simpul. Itulah sebabnya orang tak berani masuk meminang Mia," kali ini nada suara Kak Sun agak keras.

Saya kira dia mula marah. Bila pendapatnya dipertikaikan. Jelingan cukup tajam menyelinap ke arah saya dan Andi Kamarool. Kami menyedari yang Kak Sun tersinggung.

Saya dan Andi Kamarool membisu seketika. Masing-masing merenung rerumput di bumi.

Kak Sun menajamkan sepasang bibirnya ke depan sambil matanya merenung ke arah bebunga orkid di bangsal.

Suasana terasa agak sepi, kicau burung tidak kedengaran begitu juga desiran dedaun, angin bagaikan enggan bertiup.

Bila saya merasakan kemarahan Kak Sun mula menurun, saya segera bersuara.

"lya, saya setuju. Kalau dah orang-orang tua kata macam tu. Ertinya perkara itu betullah."

Saya lihat air muka Kak Sun berubah menjadi riang. Tidak muncung macam tadi, malah dia cuba tersenyum.

"Kita ni orang terkemudian, kena percaya dengan cakap orang yang terdahulu," tambahnya.

"Betul tu Kak Sun," sahut Andi Kamarool.

Senyum Kak Sun bertambah lebar. Jari-jemari tangan kanannya memukul bilah-bilah buluh di depannya. Dia benar-benar berada di puncak kegirangan.

"Orang macam mana yang boleh jadi suami Mia, Kak Sun?" soal saya.

Kak Sun menggigit lidah. Dahinya berkerut. Dia renung kiri, renung kanan. Kemudian menarik dan melepaskan nafas dengan teratur.

Matanya tetap merenung ke arah bunga orkid yang berjuntaian. Macam ada sesuatu yang bermain daiam tempurung kepalanya.

"Orang macam mana yang boleh jadi suami Mia kak?" ulang saya lagi.

Agak keberatan Kak Sun menjawab pertanyaan yang saya ajukan itu.

"Kata Haji Simpul," Kak Sun mula bersedia menghilangkan keraguan dalam hati.

"Orang dari keturunan manusia harimau saja yang layak jadi suaminya. Orang-orang tua disini masa dulu, suka sangat mendampingi binatang secara ghaib.

"Binatang-binatang itu dijadikan sebagai suruhan untuk menjaga kepentingan keturunannya. Inilah satu-satunya keistimewaan orang-orang tua di Kerinci masa dulu, Tamar," sambung Kak Sun.

"Pelik, mana ada manusia berasal dari harimau," bantah saya.

"Hei! Harimau jadi-jadianlah, sejak turun temurun."

"Ertinya kalau begitu, bersahabat dengan makhluk jin yang tidak diketahui sama ada jin itu Islam atau kafir," saya terus berhujah dengan Kak Sun. Andi Kamarool hanya diam saja.

Saya tidak tahu, apakah cara yang saya lakukan itu disenangi oleh Andi Kamarool.

"Kamu terlalu banyak cerita Tamar. Soal jin, soal syaitan aku tak tahu."

"Tapi, perkara macam tu selalu dicakapkan di sini. Kepercayaan tu terus kekal sampai sekarang, betul atau tidak bukan soalnya.

"Pokoknya, orang-orang di sini percaya dengan semuanya tu. Itu fasal Mia tak kahwin sampai sekarang," Kak Sun renung biji mata saya.

"Macam mana dengan abang Mia? Dia beristerikan orang seketurunan dengan datuk neneknya?" tanya saya lagi.

"Tidak."

"Kalau begitu, sudah tentu rumahtangga mereka tak bahagia. Porak peranda."

"Perkara tu aku tak tau. Menurut Haji Simpul, orang lelaki keturunan manusia harimau, boleh berkahwin dengan perempuan bukan keturunan manusia harimau."

"Kenapa begitu, semuanya ni merepek," saya tidak dapat mengawal perasaan.

Nada suara saya cukup keras. Saya tidak mahu memikirkan apakah sikap saya itu menyinggung perasaan Kak Sun. Saya sudah banyak mengalah.

Sebelum keadaan menjadi lebih gawat lagi, Andi Kamarool terus menepuk bahu kanan saya dua tiga kali. Muka Andi Kamarool saya tentang.

"Tamar, kamu mesti mendengar apa yang Kak Sun cakap. Dia lebih tahu tentang hal ni. Dia orang di sini," kata-kata oleh Andi Kamarool dapat menurunkan tahap kemarahan dan saya dapat mengawal perasaan dengan sebaik mungkin.

Saya segera minta maaf kepada Kak Sun. Sungguh mengejutkan Kak Sun tidak terasa hati dengan sikap yang saya tunjukkan itu.

"Tak merepek Tamar, ada alasannya. Anak dara manusia keturunan harimau ganas, cepat panas darah.

"Bila suaminya dari keturunan yang sama, dia tidak boleh buat sebarangan kerana kuasa ghaib suaminya.

"Kalau panas sama panas, ertinya sama-sama kuat, mereka kadang-kadang tak dapat keturunan," begitu bersahaja Kak Sun bersuara.

"Pelik sungguh," sungut saya.

"Makin lama kau hidup, makin banyak perkara pelik yang kau lihat dan kau dengar. Manusia itu sendiri sebenarnya memang pelik," saya tersenyum.

Kak Sun seperti berfalsafah. Andi Kamarool terus mengelamun. Entah apa yang difikirnya, sukar untuk saya teka.

Tiba-tiba Andi Kamarool bangun. Berdiri lurus, kemudian menggeliat ke kiri dan ke kanan. Barangkali, dia mahu menghilangkan rasa lenguh di seluruh sendi tubuh.

"Bagaimana mahu tahu, seseorang tu dari keturunan manusia harimau?" secara mendadak saja Andi Kamarool mengajukan pertanyaan untuk Kak Sun.

"Bila jumpa Haji Simpul, apakah dia boleh menentukan seseorang itu dari keturunan manusia harimau?" datang pula pertanyaan dari saya.

Pertanyaan yang bertalu-talu itu tidak pula membuat Kak Sun kelam kabut Dia nampak tenang.

"Ada tanda-tanda tertentu, kalau susah mencari tanda-tanda tu, jumpa Haji Simpul. Dengan sekali pandang saja dia boleh kenal sama ada seseorang itu dari keturunan manusia harimau," dua pertanyaan yang dikemukakan dijawab oleh Kak Sun sekali gus.

"Antara tanda-tanda lelaki dari keturunan manusia harimau tentu ada yang kak tahu?" saya renung muka Kak Sun.

Dia termenung sejenak.

"Tak banyak, sikit, mesti ada yang Haji Simpul cakapkan pada Kak Sun," susul Andi Kamarool.

"Antara tanda-tandanya, alur bibirnya terlalu dalam. Jika bermisai, sebelah kiri dan kanan, keras dan luar biasa panjangnya, walaupun dipotong setiap hari, tetap panjang.

"Sekelompok rambut di tengah ubun-ubun berwarna kemerahan berbelang putih hitam. Bila marah selalu mahu menggaru dinding-dinding atau mencakar tanah sambil mengeluarkan suara menderam dan pada masa itu bahu di kiri kanan pipi bertukar menjadi lebat dan bulu roma di muka terus bermunculan.

"Bila tidur malam berdengkurnya macam kucing mahu bergaduh."

"Terima kasih Kak Sun," kata saya sebaik saja Kak Sun berhenti bercakap.

Dia terus tersenyum tetapi, matanya terpaku ke wajah Andi Kamarool, macam ada sesuatu yang dicarinya.

"Apa kamu berdua ada tanda-tanda yang aku sebutkan tadi?"

"Saya tak ada."

"Macam mana dengan kamu Andi?"

"Saya tak tahu apa nak kata, terpulanglah pada Kak Sun," jawab Andi Kamarool dan disambut oleh Kak Sun dengan ketawa panjang.

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 175/284

BACA: SBDJ Siri 174: Gadis Muncul Waktu Subuh
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com

Friday, December 18, 2020

SBDJ Siri 174: Gadis Muncul Waktu Subuh

SBDJ Siri 174: Gadis Muncul Waktu Subuh

Dan Samion pun mengungkapkan, dari mulut beberapa orang-orang penduduk kampung berdekatan, dia memperolehi sumber yang mengatakan rumah batu lama itu, asalnya milik orang China yang pada zaman penjajah (Belanda) dianggap oleh beberapa pihak sebagai tokoh perniagaan terkaya di Asia Tenggara pada masa itu.

Toyol jadi-jadian


Memiliki ladang getah, cengkih, pala, di samping menjalankan perniagaan gula secara besar-besaran.

Sering berulang-alik ke Singapura, Pulau Pinang dan Hong Kong demi urusan pemiagaannya.

Saudagar China itu mula berdepan dengan zaman gelapnya, bila dua orang anak lelakinya yang diharapkan membesarkan perniagaan ditangkap Belanda.

"Kedua-dua anak saudagar itu dituduh membantu perjuangan penduduk tempatan menentang Belanda. Kedua-duanya ditembak mati.

"Tak cukup dengan itu, isterinya pula diserang demam malaria dan terus mati," kata Samion dengan wajah yang sedih.

Kerana saudagar China itu berkawan baik dengan keluarga Mia, segala harta tanah, rumah dijualkan kepada keluarga Mia.

Dan si Cina kaya yang malang itu berhijrah ke Pulau Pinang dan meninggal dunia di pulau tersebut.

Cara Samion menyampaikan cerita, sungguh menarik membuat kami tidak bosan mendengarnya.

"Panjang juga sejarahnya rumah itu," kata saya, Samion tersenyum.

"Ada tak cerita lain yang pelik-pelik," susul Andi Kamarool.

"Kamu berdua cari sendirilah, khabarnya kamu nak bermalam di rumah ni."

"Betul pak cik tapi, sebelum tu kami nak tahu hal-hal yang ganjil," tingkah saya.

Samion telan air liur. Termenung panjang, macam ada sesuatu yang difikirkan.

"Kamu berdua pergi tanya mandur. Dia pernah bermalam di anjung rumah itu. Dia nak jumpa pengawal rumah, nak minta harta. Dia nak jadi kaya. Pergi tanya dia apa yang terjadi," Samion mengakhiri kata-kata dengan ketawa terkikih.

Tindak-tanduknya membuat kami tidak sabar untuk mengetahui cerita selanjutnya.

"Ceritakanlah pak cik," desak saya.

"Tanya mandur," jawabnya.

Samion segera bangun dan meninggalkan kami

MENGEJUT

Keputusan mengejut dari Samion membuat saya dan Andi Kamarool termangu-mangu.

Wajarkah Samion diburu dan memaksa dia bercerita tentang apa saja peristiwa ganjil yang dialaminya semasa mejadi 'jaga' rumah batu itu?

Perlukah mencari mandur serta memaksa dia meluahkan pengalamannya untuk renungan kami? Atau melupakan saja tentang Samion dan mandur. Semuanya berlegar-legar dalam benak saya.

"Kita memerlukan keterangan dari orang lain untuk panduan, kita tak boleh melulu buat kerja ni. Kalau ada datuk kamu dan Haji Basilam lainlah, ada tempat mengadu dan minta tolong," Andi Kamarool meluahkan keraguannya. Wajahnya nampak gusar.

Saya merenung rerumput di halaman yang luas saujana mata memandang. Embun di hujung rumput sudah hilang, kicau burung juga beransur kurang.

"Kalau begitu Andi, kita cari mandur,"

Andi Kamarool tidak membantah dengan cadangan yang saya kemukakan.

Di tengah-tengah sinar matahari yang beransur keras menyengat itu, kami pun mengesan dan temui mandur sedang bersandar di pangkal pokok angsana merehatkan tubuh dan fikiran sambil menghisap paip bengkok.

"Ada apa yang boleh saya tolong," tegur mandur ramah sekali.

Tanpa banyak cakap kami terus duduk atas batang buruk berdepan dengannya. Kami tatap wajahnya yang masih ada kesan peluh.

"Dengar cerita kamu nak tidur di anjung rumah Mia."

"Mana mandur tahu?" tanya saya.

"Si Harisun pembantu rumah Mia yang cakap pada aku secara sulit. Kalau Mia tahu perkara ni lepas keluar, si Harisun tentu dihalaunya dari rumah. Diberhentikan kerja."

Andi Kamarool tidak memberi apa-apa komen tetapi, saya kesal dengan Mia dan rasa marah terus meluap terhadapnya. Kenapa perkara itu mesti diceritakan kepada Kak Sun.

Dan mulut luas Kak Sun sudah mengkhabarkan perkara itu kepada mandur. Memang orang perempuan jahat mulut. Tidak pandai simpan rahsia. Suka sampai menyampai, keluh hati kecil saya.

Sesungguhnya apa yang saya kira rahsia, sebenarnya sudah tidak menjadi rahsia lagi. Entah berapa ramai manusia di sekeliling Mia yang mengetahui tujuan dan cita-cita kami menginap di sini.

"Bagus kamu berdua cubalah dan rasalah sendiri."

Saya tersintak dari lamunan. Batang hidung mandur saya renung. Sepintas lalu, kata-kata yang diluahkan oleh mandur itu mengandungi unsur-unsur menyindir.

Boleh melemahkan semangat, kalau di terima secara negatif, kalau diterima secara positif, kata-kata itu adalah cabaran yang mesti dihasut.

"Mandur pernah tidur di anjung rumah tu?" tanya Andi Kamarool.

Mandur gelengkan kepala.

"Samion kata, mandur pernah pergi ke situ waktu malam?" saya menyoal.

Mandur anggukkan kepala.

"Apa yang mandur dapat?" susul Andi Kamarool.

Mandur terdiam sejenak, dua tiga kali kelopak matanya dipejam celikkan. Sepasang kakinya dilunjurkan.

"Aku mencuba, bila anak buah aku bercakap secara sulit yang mereka selalu melihat perkara aneh di halaman rumah tu. Terutama anak buah aku yang datang awal pagi," mandur terus menghidupkan api paipnya yang mati.

Setelah dua kali menyedut dan meluahkan asap paip, mandur tidak menyambung ceritanya. Dia merenung kosong ke tengah padang (halaman).

"Apa yang anak buah mandur nampak waktu subuh tu?" saya cuba menghidupkan percakapan yang terbantut.

Mandur cabut paip dari mulut, kepala paip diketuk dua tiga kali pada akar angsana hingga sisi tembakau di dalamnya berhamburan keluar.

"Si Manan, tukang kebun. Dia tu orang Tanjung Balai. Sebelum subuh dia sudah sampai ke sini. Kadang-kadang dia sembahyang subuh di kaki lima rumah, kadang-kadang di bawah pokok cempaka besar.

"Suatu hari selepas sembahyang subuh, dia terpandang seorang wanita jelita, berkulit putih bersih.

"Mungkin wanita Cina mengutip bunga-bunga tanjung yang gugur. Bila Manan mahu menegur perempuan itu terus ghaib."

Saya urut dada, senang rasa hati kerana mandur masih mahu bercerita.

"Pengalaman mandur macam mana pula?" saya terus mencungkil rahsia.

Mandur tersenyum, jejarinya terus menyumbat tembakau ke dalam lubang paip. Dua kali sedut, dua kali meluahkan asap ternyata mandur dapat menikmati kepuasan yang tidak terkata. Gerak gerinya kami ikuti penuh teliti.

"Niat aku bukan apa-apa, aku cuma nak jumpa makhluk ghaib kerana nak minta harta. Aku nak jadi kaya," ungkap mandur. Dia masih juga tersenyum panjang.

"Mandur dapat apa yang dihajati?" serius sungguh Andi Kamarool mengajukan pertanyaan. Senyum mandor masih belum putus.

"Kenapa mandur?" rasa ingin tahu saya tidak dapat kawal.

"Aku lari lintang pukang, rasa nak keluar semua isi perut, kayu batu semuanya aku langgar. Akibat takut."

Cerita yang diungkapkan si mandur membuat saya dan Andi Kamarool ketawa terbahak-bahak hingga berair mata.

Dan panas terik yang menggigit tubuh tidak terasa. Memang lucu kisahnya. Mandur juga turut ketawa.

MESRA

Kerana sudah terasa agak mesra, si mandur Batak berkulit hitam, berbadan besar yang didakwa oleh Samion sebagai lelaki yang handal dalam ilmu dunia itu pun bercerita.

Menuruttnya, ada dua sebab yang mendorong dia mengunjungi rumah batu lama itu waktu tengah malam.

Pertama, dia mahu memastikan sama ada cerita orang di bawahnya itu betul atau tidak. Kedua, kalau cerita itu betul, dia mahu menemui makhluk yang merayau-rayau di kawasan itu untuk meminta sesuatu.

Dua perkara itulah yang menyebabkan mandur keluar dari rumahnya (yang terletak kira-kira setengah batu dari rumah Mia) jam dua belas malam.

Masuk ke kawasan rumah tersebut, mandur tidak menghadapi sebarang rintangan atau masalah. Dia terus mundar-mandir di kawasan halaman rumah.

Malam yang dingin memaksa mandur membalut tubuhnya dengan kain tebal. Tidak memadai dengan itu, dia terus memeluk tuhuhnya.

Kerana tidak mahu kedatangannya dikesan oleh sesiapa (terutama Mia) mandur tidak menghisap paip.

Ketika embun jantan mula turun, mandur tidak lagi bergerak sebebas tadi. Dia lebih banyak duduk di bawah pohon cempaka, suasana terasa amat sepi sekali.

Bau harum dari bunga sedap malam terus menusuk lubang hidung. Bagi menghindari rasa mengantuk, mandur minum kopi pahit yang sememang dibawa dari rumahnya.

Mandur beredar dari bawah pokok bunga tanjung. Dia mendekati rumpun pokok bunga sedap malam.

Sudah satu jam masa berlalu, mandur tidak berhadapan dengan perkara- perkara yang aneh seperti yang dialami oleh Samion, si Manan dan beberapa orang lagi anak buahnya.

Mandur mula mengesyaki apa yang didakwa itu memang tidak wujud. Dirinya dipermainkan oleh anak buahnya sendiri.

Secara mendadak saja mandur panas hati. Dia memaki hamun orang yang menyampaikan cerita ganjil kepadanya.

Dia bercadang mahu menempelak tukang cerita pada keesokkan hari. Puncak dari rasa marah itu, mandur terus mematahkan ranting bunga sedap malam yang sedang menyebarkan bau harum sekitar rumah.

Ketika mandur mencampakkan ranting yang dipatahkan itu ke dalam longkang besar di kanannya, dia terasa macam ada sesuatu yang bergerak ke arahnya dari sebelah kanan rumah batu lama. Semua pancaindera mandur tertumpu ke situ.

Cara kebetulan, bulan yang muncul dilarut malam, masih mampu menebarkan cahaya ke sekitar kawasan rumah batu malam.

Mandur renung ke arah perdu pokok bunga tanjung. Dia melihat susuk tubuh orang hitam, tinggi dan besar. Berdiri membelakanginya.

Kerana yakin, apa yang dilihat itu adalah penjaga rumah lama, mandur segera mendekatinya.

Sebaik saja didekati untuk dikenali, orang hitam itu terus ghaib dari pandangannya. Mandur yang keras hati dan bersemangat waja itu yakin orang hitam itu akan menjelma lagi.

Kerana itu dia mengambil keputusan untuk menantinya. Kali ini dia menunggu di bawah pokok bunga cempaka besar.

Bunga cempaka yang mala, berjatuhan menimpa tubuh mandur. Semuanya itu, tidak menggugat keyakinan mandur. Dia terus menanti.

Menjelang subuh, di saat kabus nipis bangkit dari permukaan bumi, mandur terlihat tubuh tanpa kepala dan kaki, bergerak bersama kabus nipis menuju ke arahnya.

Mandur masih menanti tetapi, bila dia melihat tubuh tanpa kepala dan kaki itu sekejap ada, sekejap tiada, mandur hilang pertimbangan. Keberanian dan semangat waja yang dimilikinya terus berkecai.

Mandur tidak sanggup menghadapinya, rancangan untuk memiliki harta punah ranah dari hatinya.

Mandur terus langkah seribu membelah suasana subuh yang dingin menuju ke rumahnya.

"Seminggu aku tak kerja, terbaring di rumah siang malam. Dah tu aku tak dapat tidur langsung.

"Pejam mata saja orang hitam tu datang, aku terpaksa balik ke tanah Batak, ubat cara kampung baru aku boleh tidur," mandur mengakhiri cerita tentang pengalaman yang dilaluinya.

"Dahsyatnya," runggut saya.

"Tak tahulah aku nak kata apa-apa. Tetapi, itulah yang aku rasakan," tambah mandur.

Anak matanya silih berganti menatap muka saya dan Andi Kamarool. Dia bagaikan mahu membaca rahsia hati dari wajah kami.

Dia mahu memastikan apakah kami memang benar-benar mahu melakukannya atau sekadar cakap-cakap saja.

WAKTU

Sebagai orang Islam dan taat menjalankan sembahyang lima waktu, tentu saja saya tidak dapat menerima cerita yang diungkapkan oleh si mandur begitu saja.

Sebagai orang muda, saya mahu mencari buktinya. Bukan apa-apa sekadar mahu mencari kebenaran. Saya kira Andi Kamarool juga sependapat dengan saya.

"Terima kasih mandur," Andi Kamarool bersuara.

Telapak tangan mandur Batak yang beragama Kristian itu digenggamnya erat-erat.

"Cerita mandur boleh dijadikan panduan," kata saya.

"Aku juga fikir begitu, cuma kamu berdua mesti ingat...."

"Ingat apa mandur?" soal saya.

"Jangan cakap besar, jangan cepat marah dan jangan patah pokok bunga sesuka hati semasa kamu mencari benda ganjil."

"Kami tetap ingat pesan mandur tu," muka mandur saya renung.

"Aku harap kamu berdua berjaya."

"Terima kasih mandur," balas kami.

Beberapa saat kemudian, kami pun meninggalkan mandur Batak yang sedang bersenang-senang di bawah pokok.

Dia terus menyedut hujung paip bengkoknya. Bau asap dari paip mandur menguasai kawasan sekitar.

Kerana baru pukul sebelas pagi, rasanya tidak wajar pulang ke rumah papan. Saya tidak tahu apa rencana Andi Kamarool selanjutnya. Saya hanya mengikut saja langkahnya menuju ke rumah batu lama.

"Terlalu awal kita nak makan tengah hari, orang makan tengah hari pukul satu," teguran saya membuat Andi Kamarool berhenti melangkah.

"Aku juga fikir macam tu, habis apa yang kita buat Tamar."

"Begini Andi, kita cari Kak Sun."

"Untuk apa?"

"Dia mesti tahu banyak perkara yang orang lain tak tahu, kita risik rahsia darinya."

Andi Kamarool termenung sebentar. Dia kedutkan bibir sambil merenung ke langit. Melihat awan gemawan yang berarak ke selatan.

"Di mana kita nak cari dia Tamar?"

"Kita cari Samion dulu, tanya dia waktu begini, Kak Sun berada di mana."

"Aku setuju."

Kami pun segera menemui Samion dalam ladang getah. Kedatangan kami membuat buruh ladang itu termenung panjang dengan dahi yang berkerut.

Setelah diceritakan tujuan sebenar kami menemuinya, Samion menarik nafas lega.

Orang tua yang tidak banyak karenah itu menyuruh saya pergi ke bukit kecil, tidak jauh dari kawasan rumah batu lama.

Kata Samion waktu begini, biasanya Kak Sun berada di situ melihat atau menaruh baja ke bunga orkid yang ditempatkan di bangsal khas di situ.

Kami terus ke situ. Ternyata si buruh tua tidak berbohong. Kak Sun kami temui sewaktu dia memotong bunga orkid.

"Buat apa bunga tu kak," tanya saya.

Wajah Kak Sun berubah. Dia renung kami atas bawah, rangkaian bunga di tangan segera dimasukkan ke dalam raga rotan.

"Buat hiasan meja makan, bukankah tengah hari ni kamu berdua makan di rumah Mia."

"lya," balas saya.

"Apa ha!nya kamu ke mari?"

Saya dan Andi Kamarool berpandangan. Angin yang turun dari puncak bukit memberikan kesegaran. Beburung hutan terus berkicau.

Walaupun hari panas terik, tetapi bahangnya tidak terasa kerana di tempat kami berdiri dikelilingi pepokok besar yang merimbun. Memberikan suasana redup dan tenaga.

"Kami ni nak minta kakak tolong kami," dengan wajah yang bersahaja saya bayangkan hasrat hati.

"Tolong apa?" sambut Kak Sun dengan wajah cemas.

"Kak Sun dah lama bekerja di sini, tentu banyak perkara yang kak tahu. Terutama tentang kejadian pelik di kawasan rumah ni."

"Tak ada perkara pelik di sini," Kak Sun cuba berdalih.

Dia segera bergerak ke kiri, memaut ranting orkid yang berbunga lebat. Ranting itu dipatah dengan hati-hati, agar bunga tidak relai.

Macam tadi juga, ranting orkid yang berbunga lebat ditaruh dalam bakul.

BAYU

Dalam hembusan keramahan bayu pinggir bukit, saya dan Andi Kamarool terus rnengekorinya.

Sudah tentu perbuatan sedemikian minimbulkan rasa kurang senang pada Kak Sun. Tugasnya jadi terganggu tetapi, dia tiada daya untuk menghindarinya.

Buat beberapa ketika, tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Ke mana saja Kak Sun bergerak, kami terus mengikutinya.

"Kak Sun marah dengan kami?" Andi Kamarool cuba memancing.

"Tak marah, kenapa mesti marah."

"Kak Sun diam semacam aje," tingkah saya.

"Tak ada perkara yang nak dicakapkan, lagi pun yang nak bertanya, kamu berdua, bukannya kakak," dari kata dan nada suara ternyata Kak Sun sudah pun memberi laluan.

Saya dan Andi Kamarool segera berpandangan. Andi Kamarool genyitkan mata, beri isyarat supaya saya kemukakan pertanyaan.

"Begini Kak Sun, bukan apa-apa, sekadar nak tahu untuk pengetahuan kami. Lagi pun Mia sendiri suruh tanya Kak Sun. Katanya, Kak Sun banyak tahu hal-hal di sini," saya buka bicara dengan harapan apa yang saya dan Andi Kamarool inginkan akan terlaksana.

"Betul ke Mia kata macam tu?"

"Betul kak."

Terpamer perubahan di wajah Kak Sun.

"Betulkah Mia, kata macam tu?" ulang Kak Sun dengan sepasang mata yang bersinar.

"Betul kak, kami tak bohong," sahut saya dan Andi Kamarool serentak.

Dan saya lihat sengih Kak Sun makin melebar di bibir. Hati kami senang sekali dengan perubahan diri Kak Sun.

Mungkin kerana penat berdiri atau mahu bercerita lebih panjang dan selesa, Kak Sun mengajak kami ke bahagian belakang bangsal.

Di situ tersedia empat bangku batang getah yang tingginya kira-kira satu kaki lebih menghadap meja panjang yang dibuat dari buluh untuk kegunaan para pekerja meletakkan makanan (bekal). Kak Sun terus duduk disalah satu bangku tersebut.

"Duduklah, kenapa berdiri," kata Kak Sun.

Kami pun terus duduk. Pepohon besar yang menaungi kami memberikan rasa nyaman dan selesa. Kicau burung yang tidak menentu iramanya memberi sedikit hiburan.

Saya dan Andi Kamarool tidak menduga semudah itu Kak Sun mahu menceritakan pengalaman-pengalaman aneh yang dikutip selama dia berkhidmat dengan keluarga Mia.

Memang ternyata sekali, janda separuh umur yang manis, mudah senyum itu menempuh pengalaman yang cukup berbeza dengan Samion dan mandur batak.

"Arwah suami kakak dulu memang bekerja dengan ayah Mia. Jadi kerani menguruskan hal-hal jual beli kelapa, cengkih dengan orang luar yang selalu berulang ke Sungai Penuh - Medan - Belawan - Teluk Bayur.

"Arwah mentua lelaki kakak ada hubungan keluarga dengan ayah Mia. Mereka sama-sama Mendailing."

Senang sekali rasa hati, bila Kak Sun mahu mengungkapkan perkara tersebut.

Kak Sun yang berhenti bercakap termenung sejenak, hujung jarinya kelingkingnya menyentuh hujung bunga orkid yang terkeluar dari bakul atas meja buluh.

"Masa tu Kak Sun dah bekerja di sini?" saya cuba menghidupkan percakapan yang terhenti.

"Tak bekerja, kak duduk di rumah. Bila suami kak mati baru kak minta kerja di sini."

Saya dan Andi Kamarool anggukkan kepala, kicau burung mula berkurangan dan tiupan bayu juga beransur lemah.

Tetapi, sinar matahari terus memancar keras, panasnya tidak terasa menyentuh tubuh kami yang bernaung di bawah rimbunan pokok besar.

"Masa kak kerja di sini, kak sempat jumpa dengan ayah Mia. Orangnya baik, jarang bercakap, kecuali hal-hal yang mustahak," sambung Kak Sun.

"Sempat jumpa ayah Mia?" celah Andi Kamarool.

Kak Sun angguk kepala, sinar matanya membayangkan kebanggaan. Saya menggigit bibir dengan harapan kisah yang dituturkan Kak Sun tidak akan mati di situ saja.

"Sebenarnya, kakak banyak bekerja dengan abang Mia. Ayah Mia jarang ada di rumah, terutama selepas bininya mati. Dia banyak keluar merantau ke Tanah Melayu, Jawa, Borneo dan ke Filipina," tambah Kak Sun dengan sinar mata yang agak redup.

"Abang Mia yang baik hati dan bertimbang rasa itu memberitahu kak, bilik mana yang boleh dimasuki dan bilik mana yang jadi bilik larangan.

"Dulu kalau ada tetamu yang tidur di bahagian anjung rumah akan mengalami hal ganjil. Bila terjaga pagi, mereka mendapati diri mereka berada di tengah padang (halaman rumah).

"Anak saudara kakak cuba tidur di situ, dia dicampakkan ke dalam parit besar."

KECUT

Cerita yang dituturkan oleh Kak Sun membuat saya rasa cemas dan kecut perut. Saya Iihat kedua-dua belah kening Andi Kamarool nampak bergerak-gerak. Agaknya, dia juga merasa takut dan cemas.

Hati saya mula berbelah bagi sama ada mahu meneruskan rancangan yang disusun atau membatalkannya saja. Andi Kamarool tentang biji mata Kak Sun.

"Ganjil," terpancut kata dari kelopak bibir Kak Sun.

"Macam ada penunggu pula Kak Sun," nada suara Andi Kamarool lemah sekali.

Mata saya liar merenung ke kiri dan ke kanan bangsal. Entah mengapa dengan tiba-liba saya terasa takut semacam, perasaan seperti bercelaru saja waktu tengah hari begini.

Bagi menghilangkan rasa cemas ilu, saya terus senyum kepada Kak Sun dan Andi Kamarool.

"Kenapa kamu macam takut saja?" Kak Sun dapat mengesan apa yang saya alami.

"Tak ada apa-apa, saya rasa sejuk waktu panas begini."

Kata-kata saya disambut dengan ketawa sinis. Saya semakin jadi serba salah. Senang rasa hati, bila mereka berhenti ketawa dan melahirkan senyum simpati untuk saya.

"Agaknya, kamu takutkan penjaga rumah?" usik Andi Kamarool.

"Penjaganya kadang-kadang nampak, kadang tidak, berbadan besar. Tinggi hitam macam orang dari Benua Afrika," secara sepontan Kak Sun bersuara.

Saya pun membeliakkan biji mata, lalu merenung ke kiri dan ke kanan bangsal.

"Kak pernah tengok?" soal Kamarool.

"Pernah."

"Apa kak tak cemas?"

"Kak tak apa-apa, tak takut juga tak rasa terganggu."

"Hai..." jerit Andi Kamrool.

Kak Sun tidak memperlihatkan apa-apa reaksi dari jeritan kecil Andi Kamarool itu. Dia nampak bersahaja, sesekali sepasang mata hitamnya ditumpukan ke puncak bukit.

"Masa mula bekerja dulu, kak disuruh oleh abang si Mia duduk di sebelah bilik rahsia. Lebih kurang seminggu menginap di situ.

"Pada suatu petang menjelang senja, tiba-tiba muncul orang hitam di pintu bilik dengan wajah yang masam," Kak Sun tidak meneruskan cerita, dia kedutkan kening macam mengingati sesuatu.

"Apa yang kak buat?" tanya saya.

"Kak kata begini: Anak tuan rumah suruh duduk di sini. Maafkan aku kerana lambat memberitahu kamu. Selesai saja kakak cakap macam tu, orang hitam itu tersenyum dan terus hilang."

Makin lama, makin seram rasanya cerita-cerita yang diungkapkan oleh Kak Sun tetapi, menyeronokkan.

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 174/284

BACA: SBDJ Siri 173: Samion Bongkar Rahsia
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com

Thursday, December 03, 2020

SBDJ Siri 173: Samion Bongkar Rahsia

SBDJ Siri 173: Samion Bongkar Rahsia

Tetapi aneh sekali, bila saya menoleh ke belakang, dalam sekelip mata Andi Kamarool hilang. Tentu saja hal sebegini membuat saya cemas. Dalam keadaan cuaca yang beransur cerah itu, saya awasi keadaan sekeliling. Agak mengejutkan, bila Andi Kamarool muncul secara mendadak di depan dalam jarak kira-kira sepuluh kaki.

Toyol jadi-jadian

Dia muncul bersama seorang wanita yang separuh baya. Saya segera mendekati mereka.

"Siapa dia ni Andi?"

"Dia yang mengawasi gerak geri kita, Tamar."

"Tidak," kata perempuan setengah umur itu.

"Masa lalu tadi, kakak terdengar suara orang jantan bercakap. Kakak terus sembunyi di balik pokok. Kakak nak tahu, siapa kamu yang sebenarnya. Kakak takut kalau ada orang lain yang masuk ke sini."

"Jadi, kakak tahu kami ada di sini?" soal saya.

"Tahu, Mia beritahu dan dia suruh kakak intip kamu berdua. Katanya, mesti hati-hati dengan kamu berdua."

Satu jawapan yang menimbulkan seribu persoalan dalam dada. Andi Kamarool segera saya renung. Dia tidak memperlihatkan sebarang reaksi.

"Kakak ni sebenarnya, siapa. Ada kena mengena dengan Mia?" saya mengajukan soalan.

"Kakak bekerja dengan Mia, mengemas rumah, membasuh dan macam-macam kerja rumah. Ramai orang tak tahu yang kakak bekerja dengannya.

"Mia mahu kakak merahsiakan dari orang ramai, kecuali anak kakak. Kakak datang subuh, balik lepas asar."

Penjelasan wanita itu, benar-benar meyakinkan saya dan Andi Kamarool.

"Suami kak kerja apa?" desak Andi Kamarool.

"Mati ditembak Belanda, semasa di Tanjung Balai."

"Nama kak siapa?" tanya saya.

"Panggil saja Sun, nama sebenar Harisun."

Dan perempuan setengah baya itu, kami benarkan berlalu. Perjalanan ke rumah papan diteruskan.

"Mia, terlalu banyak berahsia," rungut Andi Kamarool.

"Rahsia tu, mesti kita cari," kata saya sambil berdiri di tepi jendela, melihat sinar matahari yang kian garang menyimbahkan cahaya ke permukaan bumi.

Keadaannya sungguh cantik. Kicau burung amat rancak sekali. Berterbangan dan berlompatan dari ranting ke ranting. Suatu suasana yang amat menyenangkan.

Dari jendela yang terdedah, saya merenung ke arah rumah batu lama tersergam gagah. Sinar matahari pagi yang mula marak menjilat sebahagian daripada bangunan rumah batu lama tu.

"Mencari rahsia dari Mia, bukan perkara mudah," tercetus kata-kata dari Andi Kamarool.

Terlalu lama dia mengambil masa untuk menjawab pertanyaan yang saya kemukakan tadi.

"Kita berusaha, Andi," saya memberikan sebuah harapan.

Tiada jawapan darinya, kecuali sekilas senyum yang hambar.

"Bagaimana kalau kita jumpa kakak tu, barangkali dia dapat membantu kita," satu cadangan yang datang secara sepontan dalam kepala saya.

"Iya, aku setuju," sahut Andi Kamarool.

Langkah pertama yang kami lakukan pagi itu ialah meninjau dan mengelilingi seluruh kawasan rumah batu tersebut. Kami mahu mengenalinya lebih terperinci lagi.

Petang semalam, kami kesuntukan masa. Kami bergerak dari sebelah kanan rumah papan menuju ke halaman rumah batu lama.

Halaman rumah tersebut amatlah luas. Tiang-tiang batu sepemeluk menyanggah bahagian depan rumah itu. Di kiri kanan rumah batu itu terdapat bangunan kecil yang sama besarnya, bercantum dengan rumah batu lama.

Orang boleh keluar masuk dari rumah batu ke rumah kecil (kiri dan kanan) menerusi pintu khas.

Di saat kami asyik melihat bangunan lama dari sudut halaman, seorang lelaki dalam usia lima puluhan memakai seluar pendek, berbaju lusuh lengan pendek memakai topi dari mengkuang mendekati kami.

"Awak kerja di sini?" itu yang saya ajukan, bila melihat wajahnya.

"Iya, saya yang membersihkan kawasan rumah ni."

Serentak saya dan Andi Kamarool merenung ke arah rumah kecil sebelah kanan. Mia berdiri di situ sambil melambai-lambaikan tangan ke arah kami.

"Bagaimana Andi?" tanya saya.

Andi Kamarool menggigit bibir tanpa mahu mengalihkan pandangannya ke arah Mia yang setia berdiri di depan rumah kecil.

"Dia mengintip gerak geri kita, Tamar," terlontar kata dari bibir Andi Kamarool. Kali ini pandangannya segera dialihkan ke wajah saya.

"Aku sependapat dengan kamu Andi. Aku harap dia tidak mengajak masuk ke bilik datuk neneknya."

"Aku juga tak mahu pergi ke kubur neneknya," Andi Kamarool meluahkan gelodak hatinya.

Saya tersenyum dalam sinar matahari pagi yang ramah. Kicau beburung yang melompat di reranting memberikan kedamaian.

Tetapi, kami masih belum membuat keputusan sama ada mahu mendekati Mia atau meneruskan perjalanan mengelilingi kawasan rumah.

"Macam mana Andi? Teruskan rancangan atau singgah di rumah kecil?"

"Singgah Tamar. Kita berada di kawasan rumahnya dan kita tetamunya, kita mesti menghormatinya, kalau tak mahu dituduh manusia tak berbudi bahasa."

Saya lihat Andi Kamarool tersenggih. Gembira kerana saya tidak membantah. Dan kami pun melangkah menuju ke arah Mia yang berdiri di depan rumah kecil.

Mia menyambut kami dengan senyum lebar. Dia mengenakan kain batik jawa dan berbaju kebaya sulam.

Sehelai selendang tersangkut di bahu. Dia nampak anggun dan menawan sekali. Kulit pipinya yang putih licin nampak kemerah-merahan diterpa cahaya matahari.

Bayu pagi yang bertiup lembut menggerakkan anak rambut di pelipis kiri dan kanan. Aduh! Saya terpesona dengannya.

"Mahu ke mana?"

Itu pertanyaan pertama yang terkeluar dari Mia.

"Sekadar nak tinjau kawasan rumah," jelas Andi Kamarool.

"Kalau nak meninjau kawasan rumah, kenapa tak beritahu. Aku bimbang," Mia mengakhiri kata dengan seulas senyum di kelopak bibir.

"Bimbang? Agaknya sangsi dan tak percayakan kami," balas saya.

Mia tidak memperlihatkan sebarang reaksi dengan apa yang saya ajukan. Dia nampak tenang dan bersahaja, sesekali membetulkan selendang di bahu yang mula menurun (mengelunsur) akibat banyak bergerak.

"Bukan apa-apa, bimbang kalau-kalau kamu berdua melihat atau terserempak dengan perkara-perkara yang menakutkan.

"Selain itu, bimbang kalau kamu dipukul oleh para pekerja saya yang menyangkakan kamu berdua orang jahat. Itu saja," Mia membetulkan hujung rambutnya yang jatuh ke dahi, akibat ditiup angin.

Rambut lebatnya yang separas bahu itu, nampak berombak bila menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan.

"Maafkan kami, kerana tak beritahu awak," kata saya. Mia anggukkan kepala, menerima kenyataan maaf kami.

"Ada kamu ambil apa-apa benda dalam kawasan rumah ni?"

"Maksud Mia?" tanya Andi Kamarool.

"Petik bunga atau ambil buah buahan."

"Tak ada," jelas saya.

"Bagus, kalau ada pun, saya izinkan. Ambil barang tidak minta izin saya buruk padahnya."

Kata-kata itu membuat saya resah. Terlalu banyak pantang larang di sini. Itu tak boleh, ini tak boleh. Semuanya mesti minta izin.

Muka Mia saya tatap, dia tetap mempamerkan senyum.

"Sekarang, kamu boleh pergi ke mana saja dalam kawasan rumah ni. Kamu boleh ambil apa saja, aku izinkan. Sebelum tu, masuk dulu kita minum."

"Tadi dah minum," saya menolak.

"Tadi minum di rumah papan, sekarang minum di rumah saya. Lagipun dah berjalan ke sana ke sini, tentu kamu berdua lapar. Masuk saja, jangan fikir apa-apa," desak Mia.

Saya dan Andi Kamarool tidak dapat mengelak. Permintaannya terpaksa kami tunaikan. Sebaik sahaja duduk di bangku dan menghadapi meja panjang, Kak Sun segera datang.

Dia pun mengatur cawan dan menyusun piring makanan. Ada pulut udang, ada kuih seri muka dan bengkang.

"Nasi lemak tak ada?" saya bergurau.

"Tak buat," jawab Kak Sun selamba dan kami menyambutnya dengan ketawa kecil.

Melihat saya dan Andi Kamarool tidak kekok berbual dengan Kak Sun, Mia segera mendekati Kak Sun. Dia mengambil alih tugas Kak Sun menuangkan air kopi ke cawan.

"Dah kenal dengan pembantu rumah saya?"

Mia terus menuangkan air kopi ke cawan.

"Dah lama kenal?" ulang Mia.

Dia tidak puas hati, pertanyaan pertamanya tidak kami jawab dengan segera.

"Sudah kenal," kami menjawab serentak.

"Bagus, sebenarnya kak Sun sendiri dah ceritakan. Cuma saya nak minta pengesahan dari awak berdua."

"Kamu memang nakal Mia," usik saya lalu disambut dengan ketawa oleh Andi Kamarool, Mia dan Kak Sun.

"Silakan Tamar, silakan Andi, jangan segan," untuk kesekian kalinya Mia mempelawa dan acara sarapan pagi (untuk kali kedua bagi saya dan Andi Kamarool) pun bermula.

Dan Mia tetap mengharapkan kami bermalam di anjung rumahnya.

"Kali ini, jangan tak jadi, jangan banyak helah dan dalih lagi," tutur Mia sambil menghirup air kopi.

Sepasang anak matanya yang tajam merenung lembut ke wajah Andi Kamarool.

"Kali ini, usaha itu tidak berhasil."

Dia masih merenung Andi Kamarool dan sekali-sekala saya lihat pandangan mereka bersambung yang dibuah dengan senyum.

Kehadiran saya bagaikan tidak wujud di ruang makan. Mia dan Andi Kamarool nampaknya kian intim.

Sebagai lelaki, hati kecil saya mula dibungai rasa cemburu. Mula meluat melihat tindak-tanduk mereka.

Hei! Aku bukannya tunggul, batin saya terus menjerit. Mereka mencabar kelakian saya. Dan sebagai protes, saya terus bangun tanpa mahu menyentuh cawan, apatah lagi menghirup air kopi. Saya bersedia untuk melangkah keluar dari rumah.

"Kenapa?"

Saya menoleh ke arah Kak Sun yang berdiri di sudut meja panjang. Andi Kamarool dan Mia mula mengarahkan sepasang anak mata masing- masing ke arah saya.

"Kenapa Tamar?" tanya Kak Sun Saya terus membisu.

"Minum dulu Tamar. Lepas tu kita teruskan rancangan, kau terburu- buru," Andi Kamarool terus berdiri.

"Ada apa yang tak kau senangi Tamar?" Mia mencelah.

Saya terus membatu, berdiri kaku sambil menarik dan melepaskan nafas dengan tenang. Kak Sun terus berdiri di depan, merenung batang hidung saya.

"Kenapa Tamar?"

"Ini urusan saya Kak."

Kak Sun segera kembali ke sudut meja, berdiri di situ. Pertanyaan dari Andi Kamarool dan Mia saya biarkan berlalu begitu saja tanpa jawapan.

Ternyata tindak-tanduk saya itu tidak menyenangkan hati Andi Kamarool. Dia segera mendekati saya.

"Kamu marahkan aku Tamar?"

Itu yang dibisikkan Andi Kamarool ke cuping telinga. Dan hati kecil saya segera membuat rumusan yang Andi Kamarool sudah dapat meneka apa yang bergolak dalam dada saya.

Sebelum perkara ini melarat. saya harus bertindak dengan bijak menyembunyikan apa yang bergolak dalam batin.

"Aku lemas, tak habis-habis bercakap. Kamu terlalu banyak melayani Mia sedangkan kita ada tugas," saja berdalih.

"Aku kadang-kadang jadi bodoh dengan sikap kamu.

"Kamu tak boleh buat macam tu Tamar, kita tetamunya. Hormatilah dia," dalam berbisik Andi Kamarool meluahkan nasihat tetapi, nada suaranya membayangkan kemarahan.

"Maafkan aku Andi. Aku mahu keluar."

"Hisss, kamu memang pelik," Andi Kamarool mendengus. Dia berpatah balik ke meja makan.

"Kenapa dengan Tamar?"

Gegendang telinga saya menangkap suara Mia yang diajukan kepada Andi Kamarool. Tiada jawapan yang terkeluar dari mulut Andi Kamarool.

Kak Sun melintas di depan saya, macam tadi dia tetap merenung muka saya. Kali ini dia senyum dan senyuman itu segera saya balas. Kak Sun terus berlalu.

"Dia nak cepat melawat kawasan rumah ni," itu jawapan Andi Kamarool untuk Mia.

Terdengar bunyi telapak kaki Mia melangkah mendekati saya.

"Kamu tak gembira Tamar?" Mia berdiri di kanan.

"Bukan apa-apa Mia, kalau lambat-lambat nanti hari panas, kawasan rumah kamu ni, bukannya kecil. Luasnya dekat lima padang bola. Aku ni, tak tahan panas," saya kira dalih itu lojik dan dapat diterima oleh akal.

"Hummmmm...." suara Mia lemah.

Dan sepasang anak matanya berlaga dengan sepasang anak mata saya. Dia pun mengukir senyum.

"Aku percaya dengan cakap kamu," balas Mia meyakinkan.

"Sebelum itu habiskan minuman," tambahnya dan aku terpaksa mengalah.

Saya pun rapat ke meja makan, sambil berdiri saya terus menghirup kopi yang tinggal separuh di cawan.

Kemudian, saya pun melangkah ke pintu. Andi Kamarool turut sama berbuat demikian. Mia turut menemani kami hingga ke muka pintu.

Saya lihat rerumput di halaman segar menghijau. Titik embun yang bertenggik di hujung rumput nampak kilau kemilau akibat di sentuh sinar matahari pagi.

"Kalau ada apa-apa masalah, jumpa saja dengan dia," Mia menudingkan jari telunjuknya ke arah Kak Sun yang sedang berdiri di sudut rumah.

"Usah bimbang, ada saja masalah kami cari dia," balas Andi Kamarool.

"Tengah hari ni kita makan bersama."

"Di mana?" saya renung muka Mia.

"Di mana lagi, di rumah sayalah," jawabnya.

Mia menabur budi, saya dan Andi Kamarool saling berpandangan. Kami anggukkan kepala serentak, tanda setuju.

Sebaik sahaja Mia masuk ke rumah, kami menyambung kembali perjalanan yang terhenti.

Sambil berjalan, saya ambil kesempatan untuk menjelaskan kepada Andi Kamarool, kenapa saya bersikap luar biasa semasa berada di ruang makan tadi.

"Kamu terlalu ikutkan perasaan. Aku tak mahu kerana Mia kita bermusuh dalam diam. Aku tahu kamu ada hati dengannya Tamar."

"Kamu juga begitu Andi."

"Iya aku mengaku. Kamu harus ingat jatuh hati tidak bererti dia milik aku. Kenapa kamu tak boleh bersikap terbuka Tamar. Bagi aku kalau kamu berjaya menawan hati Mia, aku tetap gembira dan merasa bahagia. Tidak ada sebabnya aku mesti memusuhi kamu."

Saya terdiam, satu pukulan maut untuk saya. Tidak ada cara dan helah untuk saya menepis atau berdalih.

Jalan paling selamat, saya harus membisu dan terus berjalan tanpa mengungkit-ungkitkan perkara itu lagi.

Ternyata taktik saya berhasil, perkara itu tidak dibangkitkan oleh Andi Kamarool lagi. Dia kembali bersikap seperti biasa.

Kerana terlalu asyik melangkah dan melayani fikiran masing-masing, tanpa disedari kami sudah berada jauh dari rumah batu. Kami kini berada di sudut halaman sebelah timur yang bersempadan ladang getah.

Kerana musim panas, pepokok getah kelihatan gondol. Dedaun yang berguguran berserakan dipermukaan bumi. Memang kawasan halaman rumah batu cukup luar biasa luasnya.

Begitulah, di saat kami merasa kagum dengan bentuk rumah batu lama dan keluasan halamannya, kami dikejutkan dengan kehadiran seorang lelaki. Kami tidak tahu dari mana lelaki itu datang.

"Selamat pagi," kata lelaki itu.

"Selamat pagi," balas kami serentak.

"Dari mana?" tanya saya.

"Hum, dari ladang getah, musim daun gugur ni kena kerja lebih sikit. Daun-daun kering ni tak boleh dibiarkan berlonggok di pangkal pokok, bila terbakar habis pokok rosak.

"Terpaksa dikuak jauh dari pangkal pokok, kalau terbakar pokok getah tak rosak," tanpa diminta orang itu terus memberikan penjelasan sambil menikam permukaan bumi dengan kayu yang dipegangnya.

Hujung kayu itu bercabang tiga yang bentuknya macam jari manusia dibuat dari buluh. Gunanya supaya mudah menarik dan mengumpul, melonggok daun getah kering.

"Pak cik bekerja di sini?" soal Andi Kamarool.

Lelaki yang mendekati usia lima puluhan itu anggukkan kepala. Topi mengkuang yang lebar menutupi sebahagian dari dahinya.

Memakai seluar panjang warna kelabu yang sudah lusuh. Bajunya dari kain tebal yang sudah koyak di bahagian dada sebelah kiri.

Kerana sikap ramah yang ditunjuknya, kami segera mendekati dan menjalin persahabatan.

"Mia dah bagi tahu, suruh awasi awak berdua."

Saya terkejut, kali ini loghat jawanya agak ketara sekali.

Kerana kami tidak memberikan tidak balas segera, membuat dia jadi serba salah.

"Mia sendiri bagi tahu pak cik? Cepat sungguh dia beritahu," saya pura-pura terkejut.

Andi Kamarool membeliakkan biji mata dalam sinar panas yang mula beransur keras.

"Bukan dia, Mia bagi tahu pada mandur beritahu saya dan pekerja lain."

"Mana mandurnya?" tanya Andi Kamarool.

"Itu..." lelaki tua itu menajamkan mulutnya ke arah lelaki berkulit hitam, berbadan besar.

Lelaki berkulit hitam yang dipanggil mandur itu, seolah-olah mengetahui yang saya dan Andi Kamarool merenung ke arahnya.

Dengan tenang dia angkat muka merenung ke arah kami sambil membuka kain merah yang melilit kepalanya. Dia menghadiahkan senyum persahabatan.

Senyumnya kami balas dan lelaki berkulit hitam meneruskan kerjanya, melawat orang-orang di bawah jagaannya. Dia berjalan arah ke selatan.

"Dia orang Batak, banyak ilmunya tapi..." orang itu tidak meneruskan kata-katanya.

Dia keluarkan rokok daun dari saku bajunya. Dengan wajah penuh kepuasan dia menghisap dan menghembuskan asap rokok.

"Nama pak cik siapa?"

"Samion, orang Jawa," matanya merenung muka saya.

"Dah lama kerja di sini?"

"Mula-mula datang dari Jawa, kerja di perkebunan Belanda, kemudian baru ke sini. Lebih dari sepuluh tahun kerja dengan Mia," Samion terus sedut rokok daun dalam-dalam.

Saya tidak mahu menyoalnya lagi, dia kurang senang kalau dihujani dengan pertanyaan yang terlalu peribadi.

"Pak cik Samion tentu banyak tahu tentang cerita-cerita ganjil dalam rumah batu lama ni," Andi Kamarool mengambil alih tugas saya.

Pertanyaan itu membuat Samion nampak seperti tersintak, dahinya berkerut. Buat beberapa ketika Samion termenung sambil merenung ke arah rumah batu lama yang tertegun kaku.

Ada kelibat manusia berjalan di kaki lima rumah tetapi, tidak dapal dilihat dengan jelas. Sukar untuk dipastikan siapakah yang berjalan di kaki lima itu, Mia atau Kak Sun dan mungkin orang lain.

Panas pagi makin beransur terik. Bahangnya membuat saya gelisah. Samion tidak memperlihatkan yang dia mahu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Andi Kamarool.

Saya jadi putus asa dan merancang untuk mengajak Andi Kamarool meninggalkan orang tua itu.

"Memang ada macam-macam cerita tentang rumah tu. Dulu, masa saya mula-mula bekerja, saya disuruh oleh abang Mia menjaga rumah tu waktu malam.

"Saya disuruh duduk dekat pintu ruang tamu, di situ ada piano besar warna hitam. Piano itu berbunyi sendiri waktu tengah malam buta.

"Macam ada jari-jari yang menyentuh mata piano. Bila saya amati dan dekati, bunyi piano itu terus hilang," Samion membuka pengalaman dirinya. Sesuatu yang menyeronokkan untuk kami dengar.

"Tapi, saya tak nampak piano tu," Andi bersuara.

"Kira-kira dua tahun lalu, abang Mia membawa piano itu ke Medan, sejak itu saya tak dengar ceritanya lagi. Saya jadi jaga selama dua bulan saja. Saya tak tahan."

"Maksud pak cik?"

Samion renung muka Andi Kamarool. Puntung rokok daun yung terkapit di bibir dibuangnya ke atas rumput. Matanya masih lagi tertumpu ke rumah batu lama.

"Pak cik tak tahan diganggu dengan macam-macam benda pelik. Pak cik pernah dihumban ke tengah padang waktu malam kerana pak cik terlena di depan pintu. Esoknya pak cik minta tukar kerja menjaga pokok- pokok getah."

"Dahsyat," keluh saya.

Samion hanya tersenyum dan bersedia untuk melangkah pergi, tetapi tindakannya itu segera dihalang oleh Andi Kamarool.

"Nanti Mia marah," katanya.

"Sekejap saja pak cik, kami cuma mahu dengar saja bukan nak buat apa-apa. Mia sendiri cakap pada saya, kalau ada apa-apa yang mahu tahu tentang rumahnya, tanya saja dengan pak cik," saya terus membohonginya.

Mendengar kata-kata itu, Samion nampak ceria sekali. Dia tidak jadi melangkah malah terus duduk bersila atas rumput.

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 173/284

BACA: SBDJ Siri 172: Lembaga Di Pintu
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com